Search This Blog

08 August, 2018

Kepemimpinan Menurut Islam



Msalah kepemimpinan merupakan persoalan yang sangat penting dan strategis. Karena ia sangat menentukan nasib sebuah masyarakat dan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa salah satu ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat dan mampu menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Al Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati di dalam memilih pemimpin. Sebab salah dalam memilih pemimpin berarti turut berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan rakyat. Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Alah maupaun di hadapan manusia
Dalam uraian ini, kami akan membahas permasalahan mengenai pemimpin, baik mengenai kewajiban pemimpin terhadap yang dipimpinnya maupun kewajiban yang dipimpin terhadap yang memimpin dan beberapa hal yang berkaitan dengan kepemimpinan..


A. PENGERTIAN PEMIMPIN
Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kelompok yang terorganisasikan dalam upaya menentukan tujuan dan mencapainya.[1]
Ada juga yang mengartikan kepemimpinan merupakan proses yang berisi rangkaian kegiatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan.[2]
Dengan demikian dapat diartikan bahwa pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan suatu proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan.

B. SETIAP KAMU ADALAH PEMIMPIN
Suatu kepemimpinan, tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang berstatus sebagai presiden, perdana menteri, direktur maupun seorang yang memiliki jabatan formal saja, namun seorang yang bekerja sebagai buruh juga merupakan seorang pemimpin. Seorang pembantu rumah tanggapun juga seorang pemimpin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap manusia adalah pemimpin. Hal ini telah dikatakan oleh Rasullullah di dalam hadist beliau :
Ketahuilah, bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab terhadap pimpinannya (rakyatnya). Maka sebagai Amir (pemimpin) yang memimpin manusia yang banyak adalah sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas pimpinannya (rakyatnya). Dan seorang lelaki (suami) adalah sebagai pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita (istri) adalah sebagai pemimpin di rumah, suami serta anak-anaknya yang yang ia bertanggung jawab terhadap mereka. Dan seorang hamba (budak) adalah seorang pemimpin dalam menjaga harta tuannya. Ketahuilah, kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertangung jawab terhadap pimpinannya. (Mutafaq’alaih)

Dari hadist di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa masing-masing manusia adalah pemimpin. Dan setiap dari mereka akan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, hendaklah seseorang tidak terlalu berambisi untuk menduduki suatu jabatan tertentu baik dalam pemerintahan maupun dalam suatu organisasi. Karena pada dasarnya ia sudah menjadi pemimpin, dan suatu jabatan tertentu merupakan suatu amanah yang sungguh sangat berat yang harus diemban dengan baik dan harus dipertangung jawabkan baik di dunia, maupun di akherat kelak.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS. Al Ahzab : 72)

Dalam sebuah hadist dikatakan :
Rasullullah saw berkata kepada Abdulrahman bin Samurah,”Wahai Abdulrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu, maka kamu akan ditolong megatasinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[3]

Di dalam hadist lain dikatankan juga “Jabatan (kedudukan) pada permulaannya adalah penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kesesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.(HR. Athabrani)[4]

C. TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
1. Pemimpin Pelayan Masyarakat
“Dari al Hasan ra berkata, Ubaidillah bi Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya. maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyaat, “aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadist yang telah aku dengar dari Rasullullah saw., aku telah mendengar Nabi saw bersabda : Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga).(H.R. Bukhari)[5]

Dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah seorang yang diberi amanat oleh Allah swt untuk memimpin rakyat, yang di akherat kelak akan dimintai pertangung jawaban oleh Allah swt. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akherat kelak. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa di antara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya, ia harus mampu menepatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya. Dalam hadist lain juga disampaikan hal yang sama “Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka.(HR. Abu Na’im)[6]
Agar kaum muslim memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga mereka, pemimpin yang dipilih adalah mereka yang betul-betul dapat dipercaya dan kuat dalam kepemimpinannya. Dalam memilih pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku dan ketaatan dalam keagamaannya. Jangan memilih pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik karena ras, suku, bangsa ataupun keturunan.

D. TAAT KEPADA PEMIMPIN
Kewajiban Taat Kepada Pemimpin
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sendi asas tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya. Jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta penguasa pemerintahan diantara kamu (QS. An Nisa : 59)

Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi Saw, beliau Saw bersabda: “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah SWT tanpa memiliki hujjah. Barangsiapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah.” [HR. Muslim].

Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Dengarkanlah dan taatilah olehmu, walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari Ethiopia yang bentuk kepalanya seperti biji kurma.” [HR. Bukhari].

Sesungguhnya akan datang sesudahku sikap mementingkan diri sendiri dan urusan-urusan yang kalian ingkari. Para sahabat bertanya Ya Rasullullah, bagaimanakah perintahmu kepada orang yang menemui hal yang demikian diantara kami ?”Rasullullah SAW bersabda “Tunaikanlah hak yang wajib atas kalian (mendengarkan dan menaati) dan mohonlah kepada Allah hak kalian. (HR. Bukhari-Muslim)[7]

Barangsiapa taat kepadaku, berarti dia taat kepada Allah. Barangsiapa mendurhakaiku, berarti dia mendurhakai Allah. Barangsiapa taat kepada pemerintahannya berarti dia menaatiku. Barangsiapa mendurhakai pemerintahannya berarti dia mendurhakaiku. (HR. Bukhari-Muslim)[8]

Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dalam pemerintahanya, maka hendaklah ia bersabar. Sebab, sesungguhnya orang yang keluar dari penguasa sejengkalpun saja (tidak taat meski hanya sedikit), maka ia mati dalam keadaan (sesat seperti) matinya jahiliah. (HR. Bukhari-Muslim)[9]

Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Ia berkata, Rasullullah SAW. Bersabda “sungguh kelak sepeninggalku akan ada perilaku monopoli (ulil amri) dan bentuk-bentuk pelanggaran yang kalian pasti tidak menyetujuinya.” Para sahabat bertanya :”Wahai Rasullullah, lantas apa yang engkau perintahkan kepada seseorang dari kami yang menemui masa seperti itu ?” beliau menjawab :”hendaklah kalian menunaikan apa yang menjadi kewajiban kalian (kepada ulil amri) dan kalian memohon kepada Allah apa yang menjadi hak kalian. (HR. Bukhari-Muslim)[10]

Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata :”Rasullullah SAW. Bersabda : ”Wajib atas kalian mendengar dan taat (kepada ulil amri dalam kebaikan), baik berkaitan dengan hal yang sulit, hal yang tidak disukai, maupun ketika ulil amri melakukan praktek monopoli sekalipun.”” (HR. Muslim)[11]

“…. Bila seseorang telah berbai’at kepada seorang imam (kubro) dengan sepenuh hati dan ketulusan janjinya, hendaklah berusaha untuk menunaikannya sejauh kesanggupannya. Dan jika di hari kemudian muncul imam lain yang menyelisihinya, maka dia memerangi imam yang menyelisihi itu. “ (HR. Muslim)[12]

Batas Ketaatan Kepada Pemimpin
Ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak tanpa ada batasan. Ketaatan harus diberikan kepada pemimpin, selama dirinya taat kepada Allah SWT dan RasulNya. Jika pemimpin tidak lagi mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan bagi dirinya. Al-Qur’an dan Hadist telah memberikan batasan yang sangat jelas dan tegas dalam memberikan ketaatan.
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.” (QS. al-Kahfi: 28)

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir.”(QS. Fâthir : 52)

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.” (QS. al-Qalam :8)

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.” (Qs. al-Qalam : 10).

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (Qs. al-Insân : 24).
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya, andaikan kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukann yang besar.” (Qs. al-Ahzab: 66-68).

Dari ayat Al Qur’an dan hadist di atas jelaslah bahwa ketaatan kepada pemimpin bukanlah suatu ketaatan yang mutlak untuk dilakukan oleh setiap muslim. Ketaatan kepada pemimpin wajib dilakukan selama pemimpin tersebut menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari kemungkaran. Namun bila pemimpin memerintahkan untuk melakukan kemungkaran, maka tidak wajib untuk mentaatinya.



DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an

Almath, Muhammad Faiz, Dr., 1995, 1100 Hadist Terpilih, Terjemah, A. Aziz Salim Basyarihil, Jakarta : Gema Insani Press.

Baqi, Muhammad Fuad bin Abdul, 1996, al-Lu’lu’ wa al-Marjan, terjemah, H. Salim Bahreisy, Surabaya : Bina Ilmu

http://www.badilag.net/. tanggal 27/11/2008

Nabhawi, Syaikh Yusuf An, 2006, Ringkasan Riyadhush Shalihin, Bandung : Irsyad Baitus Salam.

Nawawi, Hadari Prof. Dr. H., 1993, Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Sohari, Drs., MM., dkk, 2006, Hadis Tematik, Jakarta : Diadit Media.

Sugandha, Dann, Drs., M.PA, 1986, Kepemimpinan di Dalam Administrasi, Bandung : CV. Sinar Baru.

Sunarto, Achmad, 2005, Hadist Al Jami’ush Shalih, Jakarta : Annur Press.




[1] Drs. Dann Sugandha, M.PA, 1986, Kepemimpinan di Dalam Administrasi, Bandung : CV. Sinar Baru, hal 62
[2] Prof, Dr. Hadari Nawawi, 1993, Kepemimpinan Menurut Islam, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hal 29
[3] Muhammad Faiz Almath, 1995, 1100 Hadis Terpilih, terjemah, A. Aziz Slim Basyarahil, Jakarta : Gema Insani Press, hal. 163
[4] Ibid, hal. 165
[5] Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1996, al Lu’lul wa al Marjan, terjemah, H. Salim Bahreisy, Surabaya : Bina Ilmu, hal 27
[6] Muhammad Faiz Almath, Op-Cit, hal. 163
[7] Achmad Sunarto, 2005, hadist Al Jami’ush Shalih, Jakarta : Annur Press, hal 140
[8] ibid, hal 141
[9] ibid
[10] Syaikh Yusuf An-Nabhawi, 2006, Ringkasan Riyadhush Shalihin, Bandung : Irsyad Baitus Salam, hal 302
[11] Ibid, hal 303
[12] Ibid hal 305



<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1150394414051160"
     crossorigin="anonymous"></script>

Ketika Nilai Shalat Kita Kurang


Sebuah kisah tentang salah satu peristiwa di hari kiamat ketika seseorang dihisab oleh Allah, ketika seseorang dihisab tentang amalnya, ternyata orang tersebut memiliki kekurangan amal. Kemudian Allah memerintahkannya untuk mencari tambahan amal kemanapun dia bisa. Kemudian dia berjalan mencari orang-orang yang dia kenal. Diantara kerumunan milliaran manusia yang pernah hidup dari jaman Nabi Adam hingga manusia yang hidup terakhir yang menyaksikan kiamat terjadi. Setelah sekian lama mencari, dia menemukan keluarganya yang dulu tempat dia meminta tolong. Disampaikannya bahwa ia meminta sedikit tambahan amal agar dia selamat. Tapi semuanya menolak. Karena mereka sendiri juga dalam perasaan takut kalau amalnya kurang nantinya.
Ya, tak ada lagi yang saling menolong. Setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Suami tak lagi mempedulikan istrinya. Ayah dan ibu tak lagi peduli pada anaknya. Semua sibuk, tak ada lagi tolong-menolong di kala itu.
Kemudian saya berfikir dan merenung, apa yang bisa membuat kita tak kekurangan amal? Setelah sekian lama merenung, saya teringat sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya maka Allah ta’ala berfirman, “lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah. Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR Tirmidzi dan Nasa’i)
Ya, PR kita yang pertama adalah urusan shalat. Disini perhatian saya terpusat dan kembali teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubaarak, abu Daud dan Nasa’i
“Sesungguhnya seorang hamba melaksanakan shalat, tidaklah ditulis baginya kecuali sepersepulunya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya.”
Ya, pasti kurang. Lalu bagaimana cara menyempurnyakan amalan shalat kita? Alhamdulillah saya dapat beberapa cara yang diambil dari beberapa hadits.
1.    Shalat sesuai cara Nabi
Kita tahu bahwa manusia paling sempurna ibadahnya adalah Rasulullah. Baik shalat, maupun ibadah yang lainnya tak disangsikan lagi kesempurnaannya. Dan Rasulullah telah memerintahkan kepada kita agar kita melaksanakan shalat sebagaimana shalatnya Nabi sebagaimana sabda beliau,
“shalatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat ku shalat.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Ya, itulah yang pertama kali harus kita lakukan agar amal shalat kita sempurna. Walaupun kita tidak dituliskan sempurna pahala shalatnya, minimal kita mendapat hampir sempurna jika mengikuti apa yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lalu bagaimana kita dapat mencontoh cara Nabi shalat ? banyak sekali hadits yang meriwayatkan bagaimana cara Nabi shalat, dari alam, hingga salam. Asal kita mau belajar dan mengamalkannya, insyaallah bisa kita lakukan. Tak perlu ditambah-tambah, dan tak boleh dikurang-kurang. Karena apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah adalah cara yang paling sempurna untuk beribadah kepada Allah ta’ala.

2.    Perbanyak shalat sunnah
Dalam hadits sebelumnya yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Nasai dari Abu Hurairah ra telah disampaikan
Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya maka Allah ta’ala berfirman, “lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah. Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR Tirmidzi dan Nasa’i)
Ya, kita sempurnakan shalat wajib dengan shalat sunnah. Disini shalat sunnah hanya penyempurna shalat wajib. Bukan amal utama. Yang utama tetap shalat wajibnya.
Banyak sekali shalat sunnah yang bisa kita lakukan untuk menyempurnakan shalat wajib. Ada shalat sunnah qobliyah dan ba’diyyah, yang benar-benar mendampingi shalat wajib kita. Yang benar-benar bampak sekali berguna sebagai penyempurna shalat wajib. Shalat dhuha dengan keutamaan tersendiri, maupun shalat tahajud dengan keutamaannya.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana shalat sunnah bisa menyempurnakan shalat wajib jika shalat wajibnya sendiri tidak dikerjakan? Tentu saja tidak mungkin. Oleh karena itu, mari kita benar-benar mendirikan shalat wajib dan shalat sunnah sebagai penyempurnanya.
Bahkan dari hadits tersebut disampaikan bahwa “Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” Bisa kita ketahui bahwa setiap amal wajib, ada pendamping amalan sunnahnya. Misal puasa ramadhan, ada banyak puasa sunnah lainnya. Zakat, ada sedekah dan infaknya. Haji ada umroh sebagai sunnahnya.
Oleh karena itu, mari kita senantiasa melaksanakan yang wajib sebaik mungkin dan melaksanakan yang sunnah sebagai penyempurnanya.

3.    Ajak orang lain melaksanakan shalat
Salah satu cara untuk mendapat pahala amal dengan cepat adalah dengan berdakwah mengajak orang lain mengerjakan shalat. Ingatkah kita akan hadits “barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Dengan mengajak, dan jika yang kita ajak mau melaksanakannya maka kita bisa mendapat pahala shalat dari orang yang kita ajak. Sementara kita sendiri mendapat pahala dari ibadah yang kita lakukan. Coba kalau kita berhasil mengajak banyak orang dan orang yang kita ajak bersedia melaksanakan shalat. Berapa banyak pahala shalat yang kita dapatkan?
Tapi bagaimana jika kita mengajak orang melaksanakan shalat tapi kita sendiri tidak melaksanakannya ?
Untuk orang yang demikian, Allah yang langsung menyampaikannya di dalam al Qur’an
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al Baqarah : 44)
Dalam ayat lain, Allah berfirman
“Hai orang-orang yang beriman! mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat ? (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash Shaff : 2-3)
Ayat di atas menunjukkan betapa dibencinya orang yang mengajak kebaikan, namun dirinya sendiri tidak mengerjakannya. Bahkan hal itu sangatlah di benci oleh Allah. Kalau kita sudah dibenci Alah, lalu apa yang bisa kita lakukan ?
Semoga kita tidaklah termasuk orang yang demikian. Aamiiin ya Rabbal’alamin

4.    Ajarkan orang lain melakukan shalat
Ketika kita berilmu walaupun sedikit, maka ajarkanlah ilmu kita kepada orang lain. Kenapa demikian ? ingatkah kita akan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
“Sesungguhnya jika anak adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Shalat merupakan salah satu ilmu yang bermanfaat. Kita bisa melihat betapa banyak orang yang mengerjakan shalat tapi dia tak tahu bagaimana rukun dan bacaan shalat. Oleh karena itu, bagi kita yang diberi nikmat oleh Allah berupa pengetahuan tentang bagaimana shalat dan bacaannya, hendaknya mengajarkannya kepada orang lain yang belum mengetahuinya. Karena shalat merupakan sebuah amalan yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim seumur hidupnya dan bagaimanapun keadaannya. Jadi ketika seseorang mengerjakan apa yang kita ajarkan, maka kita juga akan mendapatkan pahala yang serupa selama ilmu yang kita ajarkan diamalkan oleh siapapun.
Sungguh beruntung orang tua yang mengajarkan anaknya untuk shalat. Sungguh beruntung para ustadz-ustadzah serta para guru yang mengajarkan santri-santrinya dan murid-muridnya bagaimana seharusnya mengerjakan shalat. Karena pahala shalat terus mengalir kepadanya sementara dia juga mengerjakan hal yang serupa.
Semoga pemaparan singkat ini mampu memberi kebaikan, hidayah dan menjadi amal shaleh bagi kita semua.
سبحانك اللهم وبحمدك اشهدانل لاأله الاانت أستغفرك وأتوب أليك
Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-MU.


<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1150394414051160"
     crossorigin="anonymous"></script>

03 July, 2018

Sebuah Renungan


Setiap makhluk, selalu lahir dari ketiadaan. Awalnya tidak ada, lalu menjadi ada. Termasuk kita. Ketika baru lahir, kita tak memiliki apapun. Bahkan pakaianpun kita tak punya. Kita begitu lemah, bahkan untuk memasukkan makanan ke mulut kitapun harus dibantu orang tua kita. Untuk bicara, berdiri, berjalan maupun untuk mengurus diri, seperti berpakaian, buang air, dan mandi juga harus dibantu. Itulah kita dahulu. Begitu lemah, dan tak punya daya apapun. Akalpun kita juga tak ada waktu itu.
Itulah kita. Allah menciptakan kita dalam keadaan yang begitu lemah. Demikianlah seperti yang disampaikan dalam Al Qur’an

“karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An Nisa : 28)

Kemudian kita mulai tumbuh, akal kita mulai ada, kita mulai belajar. Mulai bisa berbicara, mulai bisa berdiri menapakkan kaki dan mulai bisa melangkah untuk berjalan dan berlari. Mulai pandai menggunakan tangan kita untuk mengambil ini dan itu. Ya, semua mulai bisa kita lakukan dengan diri kita.
Kita terus tumbuh. Mulai belajar mengerti nilai-nilai dalam hidup kita. Waktu itu kita tak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Yang kita tahu hanya mana yang boleh, dan mana yang tidak boleh kita lakukan. Dan terus kita tumbuh, menjadi semakin lincah, semakin berakal, semakin tahu ini dan itu, dan dapat melakukan berbagai hal.
Hingga kemudian kita tumbuh dengan kemandirian. Dapat hidup dengan upaya sendiri, memiliki penghasilan sendiri, memiliki rumah, kendaraan, keluarga, anak, karier, dan lain sebagainya. Kita memahami nilai-nilai dan norma-norma dalam hidup. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk, kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, kita dapat berfikir, memiliki kebanggaan dan rasa malu, dan sebagainya. Disitulah kita merasakan kesempurnaan hidup  dan memiliki kekuatan. Dengan kekuatan dan kemampuan yang kita miliki menjadi kebanggaan tersendiri dalam hidup kita. Keinginanpun terus bermunculan tiada henti. Ingin memiliki ini dan itu, mengumpulkan ini dan itu. Siang malam kita bekerja dan terus berusaha untuk dapat hidup dengan gaya hidup “modern” yang kita lihat dan kita ketahui.
Namun demikian, menjadi sebuah keniscayaan bahwa waktu akan terus berjalan dan terus menggerus kehidupan kita. Tubuh kita yang dulu kuat lama kelamaan akan menjadi lemah. Wajah cantik maupun tampan yang selalu kita rawat dan kita banggakan akan memudar. Kebanggaan akan kecantikan dan ketampanan itu akan hilang dengan sendirinya. Tubuh kuat akan kehilangan kekuatannya. Hingga kemudian menjadi lemah, makin melemah dan semakin lemah. Dan akhirnya tinggallah kita menjadi kembali tak berdaya seperti semula.
Begitulah kita. Itulah fitrah kita sebagai manusia sebagaimana telah difirmankan dalam al Qur’an :
Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” QS. Ar Rum : 54
Kemudian maut akan menjemput kita. Mengakhiri sepak terjang dan kehidupan kita di dunia. Kita sering lihat bagaimana, keluarga, tetangga kita meninggal. Isak tangis dan air mata terlinang di tiap anggota keluarganya. Begitu pula kita. Hal itu juga mungkin akan terjadi pada keluarga kita nantinya. Bagaimana rasanya ketika malaikat maut menjemput dan mencabut nyawa kita. Konon, sakitnya lebih sakit daripada 70 kali cabikan pedang. Dan itu pasti akan dirasakan setiap orang termasuk kita. Setelah proses itu berlalu, tubuh kita menjadi kaku, dimandikan, dikafankan oleh keluarga dan orang-orang disekitar kita. Dan kita akan merasakan, bagaimana tubuh kita akan diantar dan dikeluarkan dari rumah kita sendiri. Dikeluarkan dari rumah yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita untuk kemudian diantar ke pemakaman. Diantar juga hanya dengan keranda dan mobil ambulance. Padahal ada mobil mewah yang selama ini kita gunakan. Dan kita juga akan merasakan bagaimana ketika tubuh kita dimasukkan di dalam kubur. Hanya dengan alas tanah, kemudian kita ditimbuni dengan tanah. Kita sendiri di dalam tanah. Gelap, dan akan terus di dalam sana hingga akhirnya dibangkitkan. Selama menunggu, kita hanya berasakan 1 dari 2 hal. Akan merasakan kesenangan atau merasakan kesengsaraan.
Pernahkah kita memperhatikan pemakaman?  Pernahkan kita perhatikan berapa banyak nisan yang terpasang disana? Pernahkan terfikir oleh kita, bahwa orang-orang yang berada di dalam makam itu dulunya pernah hidup sepeti kita? Pernah berkeluarga seperti kita ? pernah berjalan diatas bumi ini seperti kita? Memiliki kekayaan dan ketenaran seperti kita ? diantara mereka ada orang kaya, ada pejabat, ada prajurit, ada jendral, ada presiden, raja, dan ada juga rakyat jelatan bahkan pengemis yang hidupnya sengasara. dan sepeti itulah keadaan mereka sekarang. Semua berakhir sama. Dikubur dalam tanah di pemakaman. Mereka hanya tinggal nama. Hanya dikenang kemudian dilupakan terkubur oleh waktu.
Kita juga pasti akan seperti itu. Kita juga pasti akan mati. Dan itu pasti. Seperti itu jugalah keadaan kita nantinya. Tapi kapan hal itu terjadi hanya Allah yang tahu. Dan ketika waktu itu tiba, kita tak akan mampu menghindar. Dimanapun kita bersembunyi, maut akan tetap menghampiri kita. Dia tak akan bisa menghindar dan tak pula dapat mensegerakannya.

“dimanapun kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian. Kendatipun kalian berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh.”QS. An Nisa : 78

Jadi, untuk apa kita diciptakan? apakah hanya untuk melalui proses kehidupan dan kemudian dikubur dan menjadi santapan belatung dan cacing tanah ? jika memang demikian, apa bedanya kita dengan binatang? Apa guna kita diberi akal? apa yang layak kita perjuangkan dalam hidup ? untuk apa menjadi orang kaya kalau akhirnya dikubur juga. Untuk apa jadi orang baik, kalau akhirnya dikubur sama seperti orang jahat. Dan untuk apa agama, dengan semua larangan dan perintah-perintah di dalamnya ada kalau akhirnya berakhir dikubur juga sama seperti orang yang tak beragama ? pernahkah kita berfikir dan merenungkannya ?
Banyak dari kita lupa dan tak terfikir tentang masalah itu. Atau mungkin tak mau memikirkan tentang itu. Banyak dari kita ketika ditanya “untuk apa kamu belajar dengan keras?” untuk apa kamu bekerja sampai seperti itu?”, kebanyakan mereka menjawab. “Untuk masa depan”. “Untuk kesuksesan”” atau “agar diterima masyarakat.” Lalu, untuk masa depan yang mana jika akhirnya masa depan mereka adalah di kubur. Dan untuk masyarakat yang mana kalau nantinya merekalah yang akan mengeluarkan kita dari rumah kita sendiri dan mengantarkan jasad kita untuk dikubur ? Sering penulis merenung dan berfikir ”untuk apa aku hidup?” dan ternyata 1400 tahun yang lalu Allah telah menjawab renungan itu didalam kitab-Nya

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ?” QS. Al Mukminun : 115
 Ya… Allah menciptakan kita bukanlah hanya bermain-main tanpa maksud. Tapi Allah memiliki tujuan tersendiri atas diciptakannya diri kita. Kita dilahirkan ke dunia, hidup di dunia, menjadi penghuni bumi dan menapakkan kaki dipermukaan bumi, beraktifitas seperti yang kita lakukan sekarang, kemudian meninggal dan dikubur dalam perut bumi. Semua tak ada yang kebetulan. Bukan suatu skenario yang hanya menghibur semata seperti layaknya sinetron yang sering kita saksikan di layar televisi. Apa yang kita lalui, yang kita alami semua memiliki hikmah yang dapat menjadikan kita lebih bahagia. Ya, sebuah scenario untuk meraih suatu kebahagiaan. Kebahagiaan di dunia dan di akherat.



<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1150394414051160"
     crossorigin="anonymous"></script>