Search This Blog

03 July, 2018

Sebuah Renungan


Setiap makhluk, selalu lahir dari ketiadaan. Awalnya tidak ada, lalu menjadi ada. Termasuk kita. Ketika baru lahir, kita tak memiliki apapun. Bahkan pakaianpun kita tak punya. Kita begitu lemah, bahkan untuk memasukkan makanan ke mulut kitapun harus dibantu orang tua kita. Untuk bicara, berdiri, berjalan maupun untuk mengurus diri, seperti berpakaian, buang air, dan mandi juga harus dibantu. Itulah kita dahulu. Begitu lemah, dan tak punya daya apapun. Akalpun kita juga tak ada waktu itu.
Itulah kita. Allah menciptakan kita dalam keadaan yang begitu lemah. Demikianlah seperti yang disampaikan dalam Al Qur’an

“karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An Nisa : 28)

Kemudian kita mulai tumbuh, akal kita mulai ada, kita mulai belajar. Mulai bisa berbicara, mulai bisa berdiri menapakkan kaki dan mulai bisa melangkah untuk berjalan dan berlari. Mulai pandai menggunakan tangan kita untuk mengambil ini dan itu. Ya, semua mulai bisa kita lakukan dengan diri kita.
Kita terus tumbuh. Mulai belajar mengerti nilai-nilai dalam hidup kita. Waktu itu kita tak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Yang kita tahu hanya mana yang boleh, dan mana yang tidak boleh kita lakukan. Dan terus kita tumbuh, menjadi semakin lincah, semakin berakal, semakin tahu ini dan itu, dan dapat melakukan berbagai hal.
Hingga kemudian kita tumbuh dengan kemandirian. Dapat hidup dengan upaya sendiri, memiliki penghasilan sendiri, memiliki rumah, kendaraan, keluarga, anak, karier, dan lain sebagainya. Kita memahami nilai-nilai dan norma-norma dalam hidup. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk, kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, kita dapat berfikir, memiliki kebanggaan dan rasa malu, dan sebagainya. Disitulah kita merasakan kesempurnaan hidup  dan memiliki kekuatan. Dengan kekuatan dan kemampuan yang kita miliki menjadi kebanggaan tersendiri dalam hidup kita. Keinginanpun terus bermunculan tiada henti. Ingin memiliki ini dan itu, mengumpulkan ini dan itu. Siang malam kita bekerja dan terus berusaha untuk dapat hidup dengan gaya hidup “modern” yang kita lihat dan kita ketahui.
Namun demikian, menjadi sebuah keniscayaan bahwa waktu akan terus berjalan dan terus menggerus kehidupan kita. Tubuh kita yang dulu kuat lama kelamaan akan menjadi lemah. Wajah cantik maupun tampan yang selalu kita rawat dan kita banggakan akan memudar. Kebanggaan akan kecantikan dan ketampanan itu akan hilang dengan sendirinya. Tubuh kuat akan kehilangan kekuatannya. Hingga kemudian menjadi lemah, makin melemah dan semakin lemah. Dan akhirnya tinggallah kita menjadi kembali tak berdaya seperti semula.
Begitulah kita. Itulah fitrah kita sebagai manusia sebagaimana telah difirmankan dalam al Qur’an :
Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” QS. Ar Rum : 54
Kemudian maut akan menjemput kita. Mengakhiri sepak terjang dan kehidupan kita di dunia. Kita sering lihat bagaimana, keluarga, tetangga kita meninggal. Isak tangis dan air mata terlinang di tiap anggota keluarganya. Begitu pula kita. Hal itu juga mungkin akan terjadi pada keluarga kita nantinya. Bagaimana rasanya ketika malaikat maut menjemput dan mencabut nyawa kita. Konon, sakitnya lebih sakit daripada 70 kali cabikan pedang. Dan itu pasti akan dirasakan setiap orang termasuk kita. Setelah proses itu berlalu, tubuh kita menjadi kaku, dimandikan, dikafankan oleh keluarga dan orang-orang disekitar kita. Dan kita akan merasakan, bagaimana tubuh kita akan diantar dan dikeluarkan dari rumah kita sendiri. Dikeluarkan dari rumah yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita untuk kemudian diantar ke pemakaman. Diantar juga hanya dengan keranda dan mobil ambulance. Padahal ada mobil mewah yang selama ini kita gunakan. Dan kita juga akan merasakan bagaimana ketika tubuh kita dimasukkan di dalam kubur. Hanya dengan alas tanah, kemudian kita ditimbuni dengan tanah. Kita sendiri di dalam tanah. Gelap, dan akan terus di dalam sana hingga akhirnya dibangkitkan. Selama menunggu, kita hanya berasakan 1 dari 2 hal. Akan merasakan kesenangan atau merasakan kesengsaraan.
Pernahkah kita memperhatikan pemakaman?  Pernahkan kita perhatikan berapa banyak nisan yang terpasang disana? Pernahkan terfikir oleh kita, bahwa orang-orang yang berada di dalam makam itu dulunya pernah hidup sepeti kita? Pernah berkeluarga seperti kita ? pernah berjalan diatas bumi ini seperti kita? Memiliki kekayaan dan ketenaran seperti kita ? diantara mereka ada orang kaya, ada pejabat, ada prajurit, ada jendral, ada presiden, raja, dan ada juga rakyat jelatan bahkan pengemis yang hidupnya sengasara. dan sepeti itulah keadaan mereka sekarang. Semua berakhir sama. Dikubur dalam tanah di pemakaman. Mereka hanya tinggal nama. Hanya dikenang kemudian dilupakan terkubur oleh waktu.
Kita juga pasti akan seperti itu. Kita juga pasti akan mati. Dan itu pasti. Seperti itu jugalah keadaan kita nantinya. Tapi kapan hal itu terjadi hanya Allah yang tahu. Dan ketika waktu itu tiba, kita tak akan mampu menghindar. Dimanapun kita bersembunyi, maut akan tetap menghampiri kita. Dia tak akan bisa menghindar dan tak pula dapat mensegerakannya.

“dimanapun kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian. Kendatipun kalian berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh.”QS. An Nisa : 78

Jadi, untuk apa kita diciptakan? apakah hanya untuk melalui proses kehidupan dan kemudian dikubur dan menjadi santapan belatung dan cacing tanah ? jika memang demikian, apa bedanya kita dengan binatang? Apa guna kita diberi akal? apa yang layak kita perjuangkan dalam hidup ? untuk apa menjadi orang kaya kalau akhirnya dikubur juga. Untuk apa jadi orang baik, kalau akhirnya dikubur sama seperti orang jahat. Dan untuk apa agama, dengan semua larangan dan perintah-perintah di dalamnya ada kalau akhirnya berakhir dikubur juga sama seperti orang yang tak beragama ? pernahkah kita berfikir dan merenungkannya ?
Banyak dari kita lupa dan tak terfikir tentang masalah itu. Atau mungkin tak mau memikirkan tentang itu. Banyak dari kita ketika ditanya “untuk apa kamu belajar dengan keras?” untuk apa kamu bekerja sampai seperti itu?”, kebanyakan mereka menjawab. “Untuk masa depan”. “Untuk kesuksesan”” atau “agar diterima masyarakat.” Lalu, untuk masa depan yang mana jika akhirnya masa depan mereka adalah di kubur. Dan untuk masyarakat yang mana kalau nantinya merekalah yang akan mengeluarkan kita dari rumah kita sendiri dan mengantarkan jasad kita untuk dikubur ? Sering penulis merenung dan berfikir ”untuk apa aku hidup?” dan ternyata 1400 tahun yang lalu Allah telah menjawab renungan itu didalam kitab-Nya

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ?” QS. Al Mukminun : 115
 Ya… Allah menciptakan kita bukanlah hanya bermain-main tanpa maksud. Tapi Allah memiliki tujuan tersendiri atas diciptakannya diri kita. Kita dilahirkan ke dunia, hidup di dunia, menjadi penghuni bumi dan menapakkan kaki dipermukaan bumi, beraktifitas seperti yang kita lakukan sekarang, kemudian meninggal dan dikubur dalam perut bumi. Semua tak ada yang kebetulan. Bukan suatu skenario yang hanya menghibur semata seperti layaknya sinetron yang sering kita saksikan di layar televisi. Apa yang kita lalui, yang kita alami semua memiliki hikmah yang dapat menjadikan kita lebih bahagia. Ya, sebuah scenario untuk meraih suatu kebahagiaan. Kebahagiaan di dunia dan di akherat.



<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1150394414051160"
     crossorigin="anonymous"></script>