Setiap makhluk, selalu lahir dari
ketiadaan. Awalnya tidak ada, lalu menjadi ada. Termasuk kita. Ketika baru
lahir, kita tak memiliki apapun. Bahkan pakaianpun kita tak punya. Kita begitu
lemah, bahkan untuk memasukkan makanan ke mulut kitapun harus dibantu orang tua
kita. Untuk bicara, berdiri, berjalan maupun untuk mengurus diri, seperti
berpakaian, buang air, dan mandi juga harus dibantu. Itulah kita dahulu. Begitu
lemah, dan tak punya daya apapun. Akalpun kita juga tak ada waktu itu.
Itulah kita. Allah menciptakan kita
dalam keadaan yang begitu lemah. Demikianlah seperti yang disampaikan dalam Al
Qur’an
“karena
manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An Nisa : 28)
Kemudian kita mulai tumbuh, akal
kita mulai ada, kita mulai belajar. Mulai bisa berbicara, mulai bisa berdiri
menapakkan kaki dan mulai bisa melangkah untuk berjalan dan berlari. Mulai
pandai menggunakan tangan kita untuk mengambil ini dan itu. Ya, semua mulai
bisa kita lakukan dengan diri kita.
Kita terus tumbuh. Mulai belajar
mengerti nilai-nilai dalam hidup kita. Waktu itu kita tak tahu mana yang baik
dan mana yang buruk. Yang kita tahu hanya mana yang boleh, dan mana yang tidak
boleh kita lakukan. Dan terus kita tumbuh, menjadi semakin lincah, semakin
berakal, semakin tahu ini dan itu, dan dapat melakukan berbagai hal.
Hingga kemudian kita tumbuh dengan
kemandirian. Dapat hidup dengan upaya sendiri, memiliki penghasilan sendiri,
memiliki rumah, kendaraan, keluarga, anak, karier, dan lain sebagainya. Kita
memahami nilai-nilai dan norma-norma dalam hidup. Kita tahu mana yang baik dan
mana yang buruk, kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, kita dapat
berfikir, memiliki kebanggaan dan rasa malu, dan sebagainya. Disitulah kita
merasakan kesempurnaan hidup dan
memiliki kekuatan. Dengan kekuatan dan kemampuan yang kita miliki menjadi
kebanggaan tersendiri dalam hidup kita. Keinginanpun terus bermunculan tiada
henti. Ingin memiliki ini dan itu, mengumpulkan ini dan itu. Siang malam kita
bekerja dan terus berusaha untuk dapat hidup dengan gaya hidup “modern” yang
kita lihat dan kita ketahui.
Namun demikian, menjadi sebuah
keniscayaan bahwa waktu akan terus berjalan dan terus menggerus kehidupan kita.
Tubuh kita yang dulu kuat lama kelamaan akan menjadi lemah. Wajah cantik maupun
tampan yang selalu kita rawat dan kita banggakan akan memudar. Kebanggaan akan
kecantikan dan ketampanan itu akan hilang dengan sendirinya. Tubuh kuat akan
kehilangan kekuatannya. Hingga kemudian menjadi lemah, makin melemah dan semakin
lemah. Dan akhirnya tinggallah kita menjadi kembali tak berdaya seperti semula.
Begitulah kita. Itulah fitrah kita
sebagai manusia sebagaimana telah difirmankan dalam al Qur’an :
Allah-lah
yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” QS. Ar Rum : 54
Kemudian maut akan menjemput kita.
Mengakhiri sepak terjang dan kehidupan kita di dunia. Kita sering lihat
bagaimana, keluarga, tetangga kita meninggal. Isak tangis dan air mata
terlinang di tiap anggota keluarganya. Begitu pula kita. Hal itu juga mungkin
akan terjadi pada keluarga kita nantinya. Bagaimana rasanya ketika malaikat
maut menjemput dan mencabut nyawa kita. Konon, sakitnya lebih sakit daripada 70
kali cabikan pedang. Dan itu pasti akan dirasakan setiap orang termasuk kita. Setelah
proses itu berlalu, tubuh kita menjadi kaku, dimandikan, dikafankan oleh
keluarga dan orang-orang disekitar kita. Dan kita akan merasakan, bagaimana
tubuh kita akan diantar dan dikeluarkan dari rumah kita sendiri. Dikeluarkan dari
rumah yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita untuk kemudian diantar ke
pemakaman. Diantar juga hanya dengan keranda dan mobil ambulance. Padahal ada
mobil mewah yang selama ini kita gunakan. Dan kita juga akan merasakan
bagaimana ketika tubuh kita dimasukkan di dalam kubur. Hanya dengan alas tanah,
kemudian kita ditimbuni dengan tanah. Kita sendiri di dalam tanah. Gelap, dan
akan terus di dalam sana hingga akhirnya dibangkitkan. Selama menunggu, kita
hanya berasakan 1 dari 2 hal. Akan merasakan kesenangan atau merasakan
kesengsaraan.
Pernahkah kita memperhatikan
pemakaman? Pernahkan kita perhatikan
berapa banyak nisan yang terpasang disana? Pernahkan terfikir oleh kita, bahwa
orang-orang yang berada di dalam makam itu dulunya pernah hidup sepeti kita?
Pernah berkeluarga seperti kita ? pernah berjalan diatas bumi ini seperti kita?
Memiliki kekayaan dan ketenaran seperti kita ? diantara mereka ada orang kaya,
ada pejabat, ada prajurit, ada jendral, ada presiden, raja, dan ada juga rakyat
jelatan bahkan pengemis yang hidupnya sengasara. dan sepeti itulah keadaan
mereka sekarang. Semua berakhir sama. Dikubur dalam tanah di pemakaman. Mereka
hanya tinggal nama. Hanya dikenang kemudian dilupakan terkubur oleh waktu.
Kita juga pasti akan seperti itu.
Kita juga pasti akan mati. Dan itu pasti. Seperti itu jugalah keadaan kita
nantinya. Tapi kapan hal itu terjadi hanya Allah yang tahu. Dan ketika waktu
itu tiba, kita tak akan mampu menghindar. Dimanapun kita bersembunyi, maut akan
tetap menghampiri kita. Dia tak akan bisa menghindar dan tak pula dapat
mensegerakannya.
“dimanapun
kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian. Kendatipun kalian berada di dalam
benteng yang tinggi dan kokoh.”QS. An Nisa : 78
Jadi, untuk apa kita diciptakan?
apakah hanya untuk melalui proses kehidupan dan kemudian dikubur dan menjadi santapan
belatung dan cacing tanah ? jika memang demikian, apa bedanya kita dengan
binatang? Apa guna kita diberi akal? apa yang layak kita perjuangkan dalam
hidup ? untuk apa menjadi orang kaya kalau akhirnya dikubur juga. Untuk apa
jadi orang baik, kalau akhirnya dikubur sama seperti orang jahat. Dan untuk apa
agama, dengan semua larangan dan perintah-perintah di dalamnya ada kalau
akhirnya berakhir dikubur juga sama seperti orang yang tak beragama ? pernahkah
kita berfikir dan merenungkannya ?
Banyak dari kita lupa dan tak
terfikir tentang masalah itu. Atau mungkin tak mau memikirkan tentang itu.
Banyak dari kita ketika ditanya “untuk apa kamu belajar dengan keras?” untuk
apa kamu bekerja sampai seperti itu?”, kebanyakan mereka menjawab. “Untuk masa
depan”. “Untuk kesuksesan”” atau “agar diterima masyarakat.” Lalu, untuk masa depan
yang mana jika akhirnya masa depan mereka adalah di kubur. Dan untuk masyarakat
yang mana kalau nantinya merekalah yang akan mengeluarkan kita dari rumah kita
sendiri dan mengantarkan jasad kita untuk dikubur ? Sering penulis merenung dan
berfikir ”untuk apa aku hidup?” dan ternyata 1400 tahun yang lalu Allah telah
menjawab renungan itu didalam kitab-Nya
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ?”
QS. Al Mukminun : 115
Ya… Allah menciptakan kita bukanlah hanya
bermain-main tanpa maksud. Tapi Allah memiliki tujuan tersendiri atas diciptakannya
diri kita. Kita dilahirkan ke dunia, hidup di dunia, menjadi penghuni bumi dan
menapakkan kaki dipermukaan bumi, beraktifitas seperti yang kita lakukan
sekarang, kemudian meninggal dan dikubur dalam perut bumi. Semua tak ada yang
kebetulan. Bukan suatu skenario yang hanya menghibur semata seperti layaknya
sinetron yang sering kita saksikan di layar televisi. Apa yang kita lalui, yang
kita alami semua memiliki hikmah yang dapat menjadikan kita lebih bahagia. Ya, sebuah
scenario untuk meraih suatu kebahagiaan. Kebahagiaan di dunia dan di akherat.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1150394414051160"
crossorigin="anonymous"></script>