Search This Blog

24 January, 2012

ADAB DI DALAM MAJLIS

kita mengerti proses mengarungi lautan ilmu Allah, maka majelis ilmu adalah sebuah samudera tak bertepi yang wajib kita datangi. Karena majelis ini berbeda dengan majelis kaum maksiat, maka kita perlu memahami beberapa adab atau etika manakala menikmati atmosphere lautan ilmu itu. Berikut ini adalah adab-adab dalam bermajelis :

1. Mengucapkan salam kepada ahli majelis jika ia hendak masuk dan duduk pada majelis tersebut, hendaknya ia mengikuti majelis tersebut hingga selesai. Jika ia hendak meninggalkan majelis tersebut, ia harus meminta izin kepada ahli majelis lalu mengucapkan salam.

2. Tidak menyuruh seseorang berdiri, pindah atau bergeser agar ia menempati tempat duduknya, dan selayaknya bagi ahli majelis yang telah duduk dalam majelis merenggangkan tempat duduknya, agar seseorang yang mendatangi majelis tadi mendapatkan tempat duduk. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah :

“Janganlah kalian menyuruh temannya bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi hendaklah kamu memperluasnya.” (Muttafaq ‘alaihi).

3. Tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk agar ia dapat duduk di tengah-tengahnya, kecuali dengan seizinnya, sebagaimana dalam hadits Rasulullah r :

“Tidak halal bagi seorang laki-laki duduk di antara dua orang dengan memisahkan mereka kecuali dengan izinnya.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)

4. Apabila seseorang bangkit dari tempat duduknya meninggalkan majelis kemudian kembali lagi, maka ia lebih berhak duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Sebagaimana dalam sabda Nabi SAW :

“Apabila seseorang bangkit dari duduknya lalu ia kembali, maka ia lebih berhaq duduk di tempatnya tadi.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)

5. Tidak duduk di tengah-tengah halaqoh/majelis, dalilnya :

“Rasulullah r melaknat orang yang duduk di tengah-tengah halaqoh.” (Abu Dawud)

6. Seseorang di dalam majelis hendaknya memperhatikan adab-adab sebagai berikut :

o Duduk dengan tenang dan sopan, tidak banyak bergerak dan duduk pada tempatnya.

o Tidak menganyam jari, mempermainkan jenggot atau cincinnya, banyak menguap, memasukkan tangan ke hidung, dan sikap-sikap lainnya yang menunjukkan ketidakhormatan kepada majelis.

o Tidak terlalu banyak berbicara, bersenda gurau ataupun berbantah-bantahan yang sia-sia.

o Tidak berbicara dua orang saja dengan berbisik-bisik tanpa melibatkan ahli majelis lainnya.

o Mendengarkan orang lain berbicara hingga selesai dan tidak memotong pembicaraannya.

o Bicara yang perlu dan penting saja, tanpa perlu berputar-putar dan berbasa-basi ke sana ke mari.

o Tidak berbicara dengan meremehkan dan tidak menghormati ahli majelis lain, tidak merasa paling benar (ujub) dan sombong ketika berbicara.

o Menjawab salam ketika seseorang masuk ke majelis atau meninggalkan majelis.

o Tidak memandang ajnabiyah (wanita bukan mahram), berbasa-basi dengannya, ataupun melanggar batas hubungan lelaki dengan wanita muslimah bukan mahram, baik kholwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita bukan mahram) maupun ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram).

7. Disunnahkan membuka majelis dengan khutbatul hajah sebagaimana Rasulullah SAW senantiasa membacanya setiap akan khuthbah, ceramah, baik pada pernikahan, muhadharah (ceramah) ataupun pertemuan, dan sunnah inipun dilanjutkan oleh sahabat-sahabat lainnya dan para as-Salaf Ash-sholeh.

8. Disunnahkan menutup majelis dengan do’a kafaratul majelis. Lafadhnya adalah sebagai berikut :

Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Turmudzi, Shahih). Diriwayatkan pula oleh Turmudzi, ketika Nabi ditanya tentang do’a tersebut, beliau menjawab, untuk melunturkan dosa selama di majelis.

Sumber: http://abusalma.wordpress.com/

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1150394414051160"

     crossorigin="anonymous"></script>



07 January, 2012

MA'ISYAH

[ … Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya ] AL-BAQARAH :233

Atas dasar ayat inilah para suami yang merupakan qowwam berkewajiban dan bertanggung jawab menafkahi keluarganya dengan cara yang makruf..

Lalu apakah kesiapan akan hal tersebut harus sudah ada pada diri ikhwan setelah seorang ikhwan (laki-laki) menyandang predikat sebagai seorang suami / ayah ataukah sebelumnya?

Setelah NIAT, ILMU dan MENTAL untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah dimiliki ,ternyata seorang lelaki yang telah memutuskan siap untuk mengarungi biduk rumah tangga ( menikah ) sebaiknya harus memilki mental tambahan,,yaitu “ mental survive dan pantang menyerah” untuk mencari ma’isyah, itulah yang dimaksud dengan kesiapan bermateri bukan kesiapan materi"

mengapa kesiapan bermateri?? karena bila membicarakan masalah kesiapan materi, maka saat itu kita tengah membicarakan tentang materi, yang tentu saja bersifat eksternal. Berbeda apabila kita tengah berbicara kesiapan bermateri, maka yang tengah kita bicarakan ialah masalah mental.

namun sebagian masyarakat saat ini selalu beranggapan bahwa lelaki yang dikatakan sanggup menikah adalah wajib memilki materi,walaupun berupa pemberian dari orang tuanya tidak menjadi masalah bagi mereka, apakah itu berupa perusahaan, rumah,tabungan,kendaraan,,bla - bla.. karena materi - materi tersebut merupakan jaminan kebahagiaan kehidupan mereka..

jadi bagaimana ini?? bagi para ikhwan yang belum memiliki materi yang termasuk kategori cukup jangan khawatir karena wanita muslimah akan lebih memilih lelaki muslim yang memiliki kesiapan bermateri bukan kesiapan materi..

tidak masalah bila memang seorang ikhwan sudah memiliki materi seperti yang disebutkan tadi,namun tetap harus memiliki mental survive dan gak mudah menyerah karena mental tersebut merupakan modal yang sangat penting.. hal tersebut bisa dilihat dari kegigihan seorang ikhwan dalam ikhtiarnya mencari ma'isyah,. bukan ikhwan yang malas dan berpasrah diri sebelum berusaha..

dan tugas istri selalu lah menjadi penyemangat bagi suami dalam mencari nafkah,,
karena sang suami telah bekerja,berpeluh dari pagi hingga sore,bahkan mungkin malam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya,.

namun tentu dalam mencari nafkah janganlah terlalu berlebihan (workaholic ) atau gila kerja sampai lembur hingga larut malam setiap harinya, sehingga bertemu keluarga pun menjadi sangat jarang sekali,, padahal keluarga tidak hanya membutuhkan nafkah yang deberi berupa harta namun juga dibutuhkan kehadiran sang ayah atau suami ditengah - tengah mereka,,

dan sebagai seorang istri juga memiliki tugas untuk menjaga harta suami dan juga memeliharanya agar harta yang telah diperoleh melalui keringat,darah dan airmata (lebay ya..hhe) tidak menjadi sia - sia, ada istri yang siap menjaga tanpa bayaran.. ^^,

dari semua yang telah diuraikan mengenai ma'isyah.. tetap taqwa lah yang menjadi urutan pertama dalam menentukan kriteria calon suami atau istri..

SUMBER : http://ukhistiqamah.blogspot.com



<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1150394414051160"
     crossorigin="anonymous"></script>