Search This Blog

18 April, 2008

Ada Apa Dengan La ilaha illallah

Syahadat Laa ilaaha illallah merupakan pondasi dasar dienul Islam. Ia merupakan rukun pertama dari rukun Islam yang lima. Kalimat Laa ilaaha illallah merupakan kalimat yang menjadi pemisah antara mukmin dan kafir. Ia menjadi tujuan diciptakannya makhluk. Ia juga merupakan sebab di utusnya para rasul. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri diperintah untuk memerangi manusia sehingga manusia mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, sebagaimana hadits yang terdapat dalam Bukhari dan Muslim, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu (yang artinya):
“Aku diperintah memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Barangsiapa yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah berarti selamat dariku harta dan jiwanya kecuali hak keduanya. Dan adapun perhitungannya (diserahkan) kepada Allah Azza wa Jalla.”
Karena kalimat Laa ilaaha illallah ini pula ditegakkan timbangan keadilan dan catatan amal. Merupakan materi utama yang akan ditanyakan dan dihisab, merupakan asas agama, merupakan hak Allah atas hamba-Nya untuk masuk Islam dan kunci keselamatan, penentu surga dan neraka.
Kita terkadang melihat sebagian kaum muslimin –kalau tidak boleh dikatakan banyak- setelah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, telah merasa bahwa dirinya sudah selamat dari api neraka. Asalkan sudah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah sudah pasti masuk surga, sudah jaminan bebas dari api neraka. Mereka tidak lagi melihat haram dan haram. Tidak memperhatikan lagi apakah melakukan ke-syirik-kan atau tidak. Apakah telah melakukan perbuatan yang bisa membatalkan syahadat-nya atau tidak.
Mereka, selain menyembah Allah juga menyembah kepada yang lain. Datang dan minta ke kuburan, menyembah kuburan, minta berkah kepada batu atau pohon, menggunakan jimat dan mantra-mantra, berdoa kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, bersumpah kepada selain Allah, datang, percaya, dan minta kepada dukun, melakukan sihir, dan melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat mengurangi kesempurnaan bahkan membatalkan syahadatnya.
Ketika diberitahu dan diingatkan, terkadang di antara mereka berdalih dengan hadits: dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal (yang artinya):
“ Tak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tiada illah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya kecuali Allah mengharamkan baginya neraka.” (Riwayat Muslim)
Sudahkah mereka memahami, apa makna kalimat Laa ilaaha illallah? Apa syarat dan rukun-nya, apa pula konsekuensinya dan pembatal-pembatalnya?
Ketika mereka (para penyembah berhala) diberitahu, dijelaskan kebenaran, kebanyakan dari mereka berpaling, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Mereka tetap saja menyembah berhala dan tidak mau mendengarkan firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, serta menolak petunjuk orang-orang yang memberi nasihat, dan barangkali juga mereka justru menentang dan menyakiti orang yang mengingkari kebatilan dan dosa-dosa mereka. Allahu Musta’an.
Mereka lupa (atau berpura-pura lupa?) atau bodoh (atau berpura-pura bodoh?)? Atau memang karena tidak tahu? Belum sampai penjelasan kepada mereka? entahlah. Allahu A’lam; bahwa di dalam kalimat Laa ilaaha illallah terdapat syarat dan rukun yang harus kita penuhi, konsekuensi-konsekuensi yang harus kita laksanakan, ada juga pembatal-pembatal yang harus kita tingggalkan dan jauhi. Jadi tidak semata-mata hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah semuanya menjadi beres.
Kalau kita tidak waspada dan hati-hati, kita dapat berbuat seperti mereka, melakukan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid, bahkan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan Laa ilaaha illallah kita. Naudzu billahi min dzalik. Kita berlindung dari hal yang demikian.
Karenanya mari kita bersama-sama mengoreksi syahadat Laa ilaaha illallah yang telah kita ucapkan. Apakah sudah memenuhi syarat dan rukunnya, maknanya, konsekuensinya, apakah telah meninggalkan pembatal-pembatalnya atau belum. Apabila sudah, alhamdulillah, itu yang kita harapkan. Namun apabila sebaliknya, marilah kita perbaiki, mumpung masih ada kesempatan. Selagi ajal belum sampai tenggorokan.

Makna Laa ilaaha illallah

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin dalam bukunya yang diterjemahkan menjadi “Murnikan Syahadat Anda” (hal.35) membawakan analisa Syaikh Sulaiman bin Abdullah dalam buku tafsir ‘Aziz Al-Hamid syarah Kitab Tauhid halaman 53; beliau, Syaikh Sulaiman bin Abdullah menyebutkan makna Laa ilaaha illallah adalah Laa ma’ buda bihaqqin illa ilaahun wahid (tidak ada yang disembah yang sebenarnya kecuali ilah yang satu), yaitu Allah yang tunggal yang tiada memiliki sekutu baginya.
“Dan tiadalah Kami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’:25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl:36)
Makna ilah yang sebenarnya adalah al-ma’bud (sesuatu yang disembah). Karenanya ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengajak orang musyrik Quraisy untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah, mereka menjawab:
“Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shad:5)
Demikian penjelasan Syaikh Jibrin pada buku tersebut hal.35-37.
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan di dalam bukunya, yang diterjemahkan dengan judul “Kitab Tauhid I” pada hal 52-53 menjelaskan beberapa penafsiran batil menganai Laa ilaaha illallah ini yang banyak beredar di masyrakat. (Saya nukil dengan sedikit perubahan) Adapun yang menafsirkan “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, “Tidak ada Tuhan selain Allah”; ini adalah tafsiran yang batil. Hal ini menyelisihi kenyataan, karena pada kenyataannya ada yang disembah kecuali Allah. Kemudian, tafsiran tersebut dapat berarti juga bahwa setiap yang disembah baik yang haq maupun batil adalah Allah.
Sedangkan penafsiran “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizqi kecuali Allah”, ini hanyalah sebagian dari arti kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mencakup tauhid rububiyah saja, sedangkan tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, dan asma dan sifat Allah.
Demikian pula penafsiran “Tidak ada hakim (penentu hukum) kecuali Allah”, ini juga cuma sebagian dari kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dikehendaki, karenanya maknanya belum cukup.

Syarat Laa ilaaha illallah

Bersaksi Laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat, tanpa syarat-syarat ini tidak bermanfaat bagi yang mengucapkan. Syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Al-Ilmu artinya mengetahui makna kalimat ini. Karenanya orang yang mengucapkan tanpa memahami makna dan konsekuensinya, ia tidak dapat memetik manfaat sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara dengan bahasa tertentu tapi ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.
    Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya):
    “Maka ketahuilah bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Allah.” (Muhammad:19)
    “Melainkan orang yang menyaksikan kebenaran sedang mereka mengerti.” (Az-Zukhruf:86)
    Hadits dari Utsman bin Affan Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
    “Barangsiapa mati dan dia mengetahui bahwasanya Laa ilaaha illallah ,maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
  2. Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat ini tanpa ragu dan bimbang sedikitpun.
    Dalilnya firman Allah (yang artinya):
    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman keapda Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
    Hadits dari Abu Hurairah (yang artinya):
    “Tidaklah bertemu Allah seorang hamba yang membawa kedua kalimat syahadat dan dia betul-betul tidak ragu-ragu kecuali dia masuk surga.” (HR. Muslim)
  3. Al-Ikhlas artinya ikhlas tanpa disertai kesyirikan sedikitpun. Inilah konsekuensi pokok Laa ilaaha illallah.
    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
    ”Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan semata mengharap agar mendapat ridha Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari-Muslim)
  4. Ash-Shidqu artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak sekali yang mengucapkan kalimat ini akan tetapi tidak diyakini isinya dalam hati.
    Firman Allah (yang artinya):
    “Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allahdan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mreka berdusta.” (Al-Baqarah:8-10)
    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
    “Tiadalah seseorang bersaksi secara jujur dari hatinya bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali orang tersebut diharamkan dari neraka.” (Bukhari-Muslim)
  5. Al-Mahabbah artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya serta merasa gembira dengan hal itu, hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang munafik.
    Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
    “Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165)
    Dalam hadits shahih dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
    “Tiga perkara, jika dimiliki oelh seseorang, ia akan mendapat manisnya iman, yaiut: mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lain, mencintai seseorang karena Allah semata, dan membenci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran seperti ia membenci jika dicampakkan ke dalam api neraka.”
  6. Al-Inqiyad artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlas dan mencari ridha Allah, ini termasuk konsekuensinya.
    Firman Allah Azza wa Jalla (yang artinya):
    “Dan siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat baik, maka dia telah berpegang kepada urwatul wutsqa.” (Lukman:22)
  7. Al-Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak, hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah.
    Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
    “Sesungguhnya apabila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallah mereka takabur.” (Ash-Shofat:35)

Syarat-syarat di atas diambil oleh para ulama dari nash Al-Qur’an dan sunnah yang membahas secara khusus tentang kalimat agung ini, menjelaskan hak dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya. Yang intinya, kalimat Laa ilaaha illallah bukan sekedar diucapkan dengan lisan.

Rukun Laa ilaaha illallah
Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun, yaitu:

  1. An-Nafyu (peniadaan) artinya membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
  2. Al-Itsbat (penetapan) artinya menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.

Dalil dari kedua rukun Laa ilaaha illallah ini adalah firman Allah (yang artinya):
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat…” (Al Baqarah:256)
‘Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut’ adalah makna dari rukun pertama Laa ilaaha, sedangkan ‘Beriman kepada Allah’ adalah makna rukun kedua illallah.
Konsekuensi Laa ilaaha illallah
Mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallah adalah dengan cara menyembah Allah dengan ikhlas dan mengingkari segala jenis peribadatan kepada selain Allah (syirik). Inilah tujuan utama kalimat ini. Termasuk konsekuensi kalimat ini adalah menerima (dengan ketundukan yang penuh) syariat Allah dalam masalah ibadah, muamalah, halal, haram dan menolak segala macam bentuk syariat dari selain-Nya.

Allah berfirman (yang artinya):
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura:21)

74 Wasiat Untuk Para Pemuda

Segala puji bagi Allah yang berfirman:“Dan sungguh Kami telah memerintahkan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah.” (An-Nisa’: 131)
Serta shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad yang bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, serta agar kalian mendengar dan patuh.”
Dan takwa kepada Allah adalah mentaati-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Wa ba’du:
Berikut ini adalah wasiat islami yang berharga dalam berbagai aspek seperti ibadah, muamalah, akhlak, adab dan yang lainnya dari sendi-sendi kehidupan. Kami persembahkan wasiat ini sebagai peringatan kepada para pemuda muslim yang senantiasa bersemangat mencari apa yang bermanfaat baginya, dan sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan hal ini bermanfaat bagi orang yang membacanya ataupun mendengarkannya. Dan agar memberikan pahala yang besar bagi penyusunnya, penulisnya, yang menyebarkannya ataupun yang mengamalkannya. Cukuplah bagi kita Allah sebaik-baik tempat bergantung.
  1. Ikhlaskanlah niat kepada Allah dan hati-hatilah dari riya’ baik dalam perkataan ataupun perbuatan.
  2. Ikutilah sunnah Nabi dalam semua perkataan, perbuatan, dan akhlak.
  3. Bertaqwalah kepada Allah dan ber’azamlah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
  4. Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nashuha dan perbanyaklah istighfar.
  5. Ingatlah bahwa Allah senatiasa mengawasi gerak-gerikmu. Dan ketahuilah bahwa Allah melihatmu, mendengarmu dan mengetahui apa yang terbersit di hatimu.
  6. Berimanlah kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta qadar yang baik ataupun yang buruk.
  7. Janganlah engkau taqlid (mengekor) kepada orang lain dengan buta (tanpa memilih dan memilah mana yang baik dan yang buruk serta mana yang sesuai dengan sunnah/syari’at dan mana yang tidak). Dan janganlah engkau termasuk orang yang tidak punya pendirian.
  8. Jadilah engkau sebagai orang pertama dalam mengamalkan kebaikan karena engkau akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikuti/mencontohmu dalam mengamalkannya.
  9. Peganglah kitab Riyadlush Shalihin, bacalah olehmu dan bacakan pula kepada keluargamu, demikian juga kitab Zaadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim.
  10. Jagalah selalu wudlu’mu dan perbaharuilah. Dan jadilah engkau senantiasa dalam keadaan suci dari hadats dan najis.
  11. Jagalah selalu shalat di awal waktu dan berjamaah di masjid terlebih lagi sahalat ‘Isya dan Fajr (shubuh).
  12. Janganlah memakan makanan yang mempunyai bau yang tidak enak seperti bawang putih dan bawang merah. Dan janganlah merokok agar tidak membahayakan dirimu dan kaum muslimin.
  13. Jagalah selalu shalat berjamaah agar engkau mendapat kemenangan dengan pahala yang ada pada shalat berjamaah tersebut.
  14. Tunaikanlah zakat yang telah diwajibkan dan janganlah engkau bakhil kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
  15. Bersegeralah berangkat untuk shalat Jumat dan janganlah berlambat-lambat sampai setelah adzan kedua karena engkau akan berdosa.
  16. Puasalah di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah agar Allah mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu ataupun yang akan datang.
  17. Hati-hatilah dari berbuka di siang hari di bulan Ramadhan tanpa udzur syar’i sebab engkau akan berdosa karenanya.
  18. Tegakkanlah shalat malam (tarawih) di bulan Ramadhan terlebih-lebih pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah agar engkau mendapatkan ampunan atas dosa-dosamu yang telah lalu.
  19. Bersegeralah untuk haji dan umrah ke Baitullah Al-Haram jika engkau termasuk orang yang mampu dan janganlah menunda-nunda.
  20. Bacalah Al-Qur’an dengan mentadaburi maknanya. Laksanakanlah perintahnya dan jauhi larangannya agar Al-Qur’an itu menjadi hujjah bagimu di sisi rabmu dan menjadi penolongmu di hari qiyamat.
  21. Senantiasalah memperbanyak dzikir kepada Allah baik perlahan-lahan ataupun dikeraskan, apakah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring. Dan hati-hatilah engkau dari kelalaian.
  22. Hadirilah majelis-majelis dzikir karena majelis dzikir termasuk taman surga.
  23. Tundukkan pandanganmu dari aurat dan hal-hal yang diharamkan dan hati-hatilah engkau dari mengumbar pandangan, karena pandangan itu merupakan anak panah beracun dari anak panah Iblis.
  24. Janganlah engkau panjangkan pakaianmu melebihi mata kaki dan janganlah engkau berjalan dengan kesombongan/ keangkuhan.
  25. Janganlah engkau memakai pakaian sutra dan emas karena keduanya diharamkan bagi laki-laki.
  26. Janganlah engkau menyeruapai wanita dan janganlah engkau biarkan wanita-wanitamu menyerupai laki-laki.
  27. Biarkanlah janggutmu karena Rasulullah: “Cukurlah kumis dan panjangkanlah janggut.” (HR. Bukhari Dan Muslim).
  28. Janganlah engkau makan kecuali yang halal dan janganlah engkau minum kecuali yang halal agar doamu diijabah.
  29. Ucapkanlah bismillah ketika engkau hendak makan dan minum dan ucapkanlah alhamdulillah apabila engkau telah selesai.
  30. Makanlah dengan tangan kanan, minumlah dengan tangan kanan, ambillah dengan tangan kanan dan berilah dengan tangan kanan.
  31. Hati-hatilah dari berbuat kezhaliman karena kezhaliman itu merupakan kegelapan di hari kiamat.
  32. Janganlah engkau bergaul kecuali dengan orang mukmin dan janganlah dia memakan makananmu kecuali engkau dalam keadaan bertaqwa (dengan ridla dan memilihkan makanan yang halal untuknya).
  33. Hati-hatilah dari suap-menyuap (kolusi), baik itu memberi suap, menerima suap ataupun perantaranya, karena pelakunya terlaknat.
  34. Janganlah engkau mencari keridlaan manusia dengan kemurkaan Allah karena Allah akan murka kepadamu.
  35. Ta’atilah pemerintah dalam semua perintah yang sesuai dengan syari’at dan doakanlah kebaikan untuk mereka.
  36. Hati-hatilah dari bersaksi palsu dan menyembunyikan persaksian.“Barangsiapa yang menyembunyikan persaksiannya maka hatinya berdosa. Dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 283)
  37. “Dan ber amar ma’ruf nahi munkarlah serta shabarlah dengan apa yang menimpamu.” (Luqman: 17)Ma’ruf adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya , dan munkar adalah apa-apa yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.
  38. Tinggalkanlah semua hal yang diharamkan baik yang kecil ataupun yang besar dan janganlah engkau bermaksiat kepada Allah dan janganlah membantu seorangpun dalam bermaksiat kepada-Nya.
  39. Janganlah engkau dekati zina. Allah berfirman: “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah kekejian dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra’:32)
  40. Wajib bagimu berbakti kepada orang tua dan hati-hatilah dari mendurhakainya.
  41. Wajib bagimua untuk silaturahim dan hati-hatilah dari memutuskan hubungan silaturahim.
  42. Berbuat baiklah kepada tetanggamu dan janganlah menyakitinya. Dan apabila dia menyakitimu maka bersabarlah.
  43. Perbanyaklah mengunjungi orang-orang shalih dan saudaramu di jalan Allah.
  44. Cintalah karena Allah dan bencilah juga karena Allah karena hal itu merupakan tali keimanan yang paling kuat.
  45. Wajib bagimu untuk duduk bermajelis dengan orang shalih dan hati-hatilah dari bermajelis dengan orang-orang yang jelek.
  46. Bersegeralah untuk memenuhi hajat (kebutuhan) kaum muslimin dan buatlah mereka bahagia.
  47. Berhiaslah dengan kelemahlembutan, sabar dan teliti. Hatilah-hatilah dari sifat keras, kasar dan tergesa-gesa.
  48. Janganlah memotong pembicaraan orang lain dan jadilah engkau pendengar yang baik.
  49. Sebarkanlah salam kepada orang yang engkau kenal ataupun tidak engkau kenal.
  50. Ucapkanlah salam yang disunahkan yaitu assalamualaikum dan tidak cukup hanya dengan isyarat telapak tangan atau kepala saja.
  51. Janganlah mencela seorangpun dan mensifatinya dengan kejelekan.
  52. Janganlah melaknat seorangpun termasuk hewan dan benda mati.
  53. Hati-hatilah dari menuduh dan mencoreng kehormatan oarng lain karena hal itu termasuk dosa yang paling besar.
  54. Hati-hatilah dari namimah (mengadu domba), yakni menyampaikan perkataan di antara manusia dengan maksud agar terjadi kerusakan di antara mereka.
  55. Hati-hatilah dari ghibah, yakni engkau menceritakan tentang saudaramu apa-apa yang dia benci jika mengetahuinya.
  56. Janganlah engkau mengagetkan, menakuti dan menyakiti sesama muslim.
  57. Wajib bagimu melakukan ishlah (perdamaian) di antara manusia karena hal itu merupakan amalan yang paling utama.
  58. Katakanlah hal-hal yang baik, jika tidak maka diamlah.
  59. Jadilah engkau orang yang jujur dan janganlah berdusta karena dusta akan mengantarkan kepada dosa dan dosa mengantarakan kepada neraka.
  60. Janganlah engkau bermuka dua. Datang kepada sekelompok dengan satu wajah dan kepada kelompok lain dengan wajah yang lain.
  61. Janganlah bersumpah dengan selain Allah dan janganlah banyak bersumpah meskipun engkau benar.
  62. Janganlah menghina orang lain karena tidak ada keutamaan atas seorangpun kecuali dengan taqwa.
  63. Janganlah mendatang dukun, ahli nujum serta tukang sihir dan jangan membenarkan (perkataan) mereka.
  64. Janganlah menggambar gambar manuasia dan binatang. Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah tukang gambar.
  65. Janganlah menyimpan gambar makhluk yang bernyawa di rumahmu karena akan menghalangi malaikat untuk masuk ke rumahmu.
  66. Tasymitkanlah orang yang bersin dengan membaca: yarhamukallah apabila dia mengucapkan: alhamdulillah
  67. Jauhilah bersiul dan tepuk tangan.
  68. Bersegeralah untuk bertaubat dari segala dosa dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan karena kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan hati-hatilah dari menunda-nunda.
  69. Berharaplah selalu akan ampunan Allah serta rahmat-Nya dan berbaik sangkalah kepada Allah.
  70. Takutlah kepada adzab Allah dan janganlah merasa aman darinya.
  71. Bersabarlah dari segala mushibah yang menimpa dan bersyukurlah dengan segala kenikamatan yang ada.
  72. Perbanyaklah melakukan amal shalih yang pahalanya terus mengalir meskipun engkau telah mati, seperti membangun masjid dan menyebarakan ilmu.
  73. Mohonlah surga kepada Allah dan berlindunglah dari nereka.
  74. Perbanyaklah mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah. Shalawat dan salam senantiasa Allah curahkan kepadanya sampai hari kiamat juga kepada keluarganya dan seluruh shahabatnya.

(Diterjemahkan dari buletin berjudul 75 Washiyyah li Asy-Syabab terbitan Daarul Qashim Riyadl-KSA oleh Abu Abdurrahman Umar Munawwir)

13 April, 2008

Urgensi dan Keutamaan Qiyamul Lail

عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
Dari Jabir r.a., ia barkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pada malam hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya untuk memohon kepada Allah suatu kebaikan dunia dan akhirat pasti Allah akan memberikannya (mengabulkannya) dan itu setiap malam.” (H.R. Muslim dan Ahmad)

Qiyamul lail merupakan sarana berkomunikasi seorang muslim dengan Rabbnya, merasa lezat di kala munajat dengan penciptanya, ia berdoa, beristighfar, bertasbih dan memujinya. Akhirnya

Qiyam al-lail merupakan sarana berkomunikasi seorang muslim dengan Rabbnya, merasa lezat dikala munajat dengan penciptanya, ia berdo’a, beristighfar, bertasbih dan memujinya. Akhirnya yang maha pengasih lagi maha penyayang mempermudah semua aspek kehidupan hambanya baik pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara. Begitu pula aspek da’wah, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Dia akan dekat dengan Rabbnya, diampuni dosanya, dihormati sesama dan menjadi penghuni surga yang disediakan untuknya.


QIYAM AL-LAIL MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

Orang yang kontinyu mengerjakan qiyam al-lail pasti dicintai dan dekat dengan Allah

“lazimkan dirimu untuk shalat malam, karena hal itu tradisi orang-orang shalih sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit dan pencegah dari dosa” (HR. Ahmad)

Dapat dipahami bahwa qiyam al-lail selain medekatkan diri kepada Allah dapat mencetak keshalihan dan selamat zhahir dari penyakit dan batin dari lumuran dosa.

Dari sahal bin Sa’ad ra, ia berkata :
“Malaikat Jibril as datang kepada Nabi SAW lalu berkata : Wahai Muhamad hiduplah sebebas-bebasnya akhirnyapun kamu akan mati. Berbuatlah semaumu, pasti akan dapat balasan. Cintailah orang yang engkau mau pasti kamu akan berpisah. Kemuliaan orang mu’min dapat diraih dengan melakukan shalat malam dan harga dirinya dapat ditemukan dengan tidak minta tolong orang lain”.

Seorang diri ingin mulia disisi Allah dan disisi manusia hendaknya ian membiasakan qiyam al-lail, bahkan akan berwajah ceria, karena dia bermunajat dengan ar-rahman maka terpancarlah nur dari wajahnya.


QIYAM AL-LAIL PENYEBAB MASUK SURGA

Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin salam dari Nabi SAW beliau bersabda :
“Wahai manusia sebarkanlah salam, berikanlah makanan dan shalat malamlah pada waktu orang-orang tidur, kalian kan masuk surga dengan selamat”.

Seorang da’i yang ingin berhasil da’wahnya harus menabur kasih sayang kepada seluruh lapisan masyarakat hal itu dapat digapai dengan wajah yang berseri-seri, mengucapkan salam, mengulurkan bantuan dan silatu al-rahim dan pada malam hari memohon kepada Allah diawali dengan qiyam al-lail , namun mereka yang kontinyu melaksankan qiyam al-lail sangat sedikit jumlahnya, semoga kita termasuk kelompok ini yang dapat masuk surga tanpa dihisab.

Rasululah SAw bersabda :
“Seluruh manusia dikumpulkan ditanah lapang pada hari qiyamat . Tiba ada panggilan dikumandangkan dimana orang yang meninggalkan tempat tidurnya, maka berdirilah mereka jumlahnya sangat sedikit , lalu masuk surga tanpa hisab, baru kemudaian seluruh manusia diperintah untuk diperiksa”.


KIAT-KIAT MEMPERMUDAH QIYAM AL-LAIL

Qiyam al-lail memerlkan kesungguhan dan kebulatan tekad, jika demikian akan sangat mudah merealisasikannya dengan izin Allah, berikut ini kiat-kiat pendorong meninggalkan tempat tidur untuk bermunajat dengan yang maha pengasih.
  1. Memprogram aktivitas 24 jam
  2. Memaham kebutuhan jasmani, aqli dan ruhani dan diberikan dengan seimbang
  3. Menghindari ma’siat. Sufyan Ats-tsauri berkata : “saya sulit sekali melakukan qiyam al-lail selama 5 bulan disebabkan satu dosa yang aku lakukan”
  4. Megetahui fadhilah dan keistimewaannya
  5. Mempunyai perasaan bermunajat dengan Allah yang maha kasih sayang

Inilah yang dapat disajikan kepada ikwan-akhwat tentang urgensi , keutamaan dan kiat-kiat qiyam al-lail. Semoga memberikan motivasi kepada kita menjadi orang yang dekat dengan Allah, mulya disisi Allah dan disisi manusia yang akhirnya menjadi penghuni surga.

Kenapa Kita harus Belajar Islam?

Seorang pengendara sepeda motor melaju dengan kencang, melewati sebuah jalanan yang cukup sepi di antara tumbuhan-tumbuhan besar, rupanya di sekelilingnya adalah hutan. Dengan memakai atribut seorang pembalap, dia memacu kendaraannya dengan kecepatan di atas rata- rata. Namun sial, di tengah perjalanannya itu, ia merasakan sesuatu, ban sepeda motornya kempis, dan mesin kendaraannya agak tersendat-sendat. Akhirnya dengan wajah kecut, ia menghentikan sepeda motornya di tengah hutan itu. Jengkel, dongkol, marah, dan sedikit resah berkecamuk di dalam dirinya. Belum selesai gundah di dalam dirinya habis, dia melihat ke arah tanki bensin sepedanya yang juga kosong melompong. Dia berpikir, kepada siapa aku harus meminta pertolongan, sedangkan kendaraan yang lalu lalang di depannya hanya bisa dihitung dengan sebelah jari tangan.

Mungkin sedikit gambaran persitiwa di atas agak tidak masuk akal, namun hal itu bisa terjadi pada siapa saja, saya, dia atau sobat. Memang sekarang kita sedang menjalani suatu perjuangan besar yang namanya adalah kehidupan. Segala sesuatu bisa terjadi di dalamnya. Senang, susah, gembira dan sedih saling berganti. Tinggal masalahnya sekarang, sudah siapkah kita dalam menjalani yang namanya kehidupan ini. Tul nggak??

Apa yang sobat pikirkan tentang keadaan pengendara sepeda motor tadi? Mengapa dia bisa mengalami hal semacam itu? Iya, memang kita tahu itu takdir…. Cuman kira-kira apa menurut sobat penyebabnya? Mungkinkah karena dia tidak mempersiapkan sepeda motornya dengan baik? Bisa jadi. Mungkinkah karena dia terlalu percaya bahwa sepeda motornya dalam kondisi yang sangat prima? Bisa juga. Namun yang pasti, pengendara sepeda motor tadi belum mengetahui kejadian apa yang bakal menimpa dia di tengah jalan hutan itu.

Nah, karena itulah, dalam hidup ini kita kudu mempersiapkan diri kita dengan bekal yang cukup.Bolehlah kita memakai atribut keduniawian seperti baju pembalap yang dimiliki oleh pengendara sepeda motor tadi. Namun yang bisa membawa kita hingga ke tujuan kita sebenarnya nanti bukanlah hal itu. Kendaraan apakah yang kita tumpangi ke sana dan sudah siapkah kendaraan kita tadi akan segala kemungkinan? Itu yang harus kita camkan sekarang. Kendaraan apa yang kita tumpangi sekarang? Itulah Al Islam, sebagai pedoman dan tuntunan hidup. Ketika kita telah mengikrarkan diri sebagai seorang muslim, seharusnya kita juga mempersiapkan kendaraan kita itu. Artinya kita wajib membekali pengetahuan kita tentang Islam yang sebenarnya.

Orang yang selamat hingga tujuan adalah orang yang bener-bener memperhitungkan segala sesuatu yang mungkin terjadi, artinya dia harus mampu menyelesaikan masalah yang bakal dia temui. Itulah sebenarnya Islam. Islam adalah sebuah Din solusi buat semua masalah sobat. Jadi kalo’ kita ingin sukses, dan bisa memecahkan semua masalah hidup yang ada, belajarlah bagaimana kita mampu merangkai jalan keluarnya, yaitu dengan belajar Islam sebagai satu- satunya jalan yang akan kita tempuh.

Dan ingatlah sobat, syahadat yang udah kita ucapkan yang menjanjikan tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, akan ditanyakan di hari akhir nanti. Bagaimana dengan janji kita itu, apa sudah kita laksanakan atau tidak?
Sehingga kita udah ngerti bener, yang namanya belajar Islam itu wajib buat kita semua. Berpahala agung untuk yang menjalani, dan berdosa besar buat orang yang meninggalkannya. Terus Islam seperti apa yang kudu kita pelajari? Yang pasti Islam tidak hanya mengajarkan tentang ibadah ritual saja, seperti sholat, puasa, infaq dan sebagainay.

Tetapi Islam yang harus kita pelajari adalah Islam yang kaffah, mencakup semua sisi kehidupan. Syarat mempelajari Islam tersebut adalah:

  1. Sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah serta sumber-sumber hukum Islam yang ada. Ketika kita menjumpai ada suatu kajian yang bertentangan dengan hal tersebut di atas, kita benarkan, apabila tidak mampu lebih baik kita tinggalkan.
  2. Pustakanya dari ummat Islam. Segala sesuatu yang kita pelajari tentang Islam harus berasal dari orang Islam pula, baik itu sejarah, informasi atau apapun.
  3. Secara menyeluruh. Seperti yang telah diungkap di atas Islam yang kita pelajari kudu secara menyeluruh bukan hanya sebagian saja.

Semoga yang telah kami sampaikan ini mampu menyadarkan kita semua tentang kemuliaan Islam yang tidak akan dapat kita peroleh tanpa usaha dan doa dari kita sendiri. Allahu Akbar!!


MENGENAL ALLAH

Pendahuluan

Mungkin terlintas dalam benak kita, apakah masih perlu sih berbicara masalah tentang Alloh? Bukankah kita sudah terlalu sering mendengar kata itu dan menyebut Asma-Nya. Bukankah kita sudah tahu bahwa Ialah Alloh Tuhan kita yang menciptakan kita. Tidakah itu sudah cukup ? Ketahuilah, perasaan merasa cukup itulah yang menghalangi kita untuk menambah dan memperkaya wawasan kita tentang pemahaman dan pengenalan terhadap penciptaaan Alloh SWT.
Sesungguhnya semakin dalam dan semain sering kita memahami untuk mengenal Alloh maka kirta akan semakin merasa dekat dengan-Nya. Semakin dekat perasaan kita kepada Alloh, semakin tenang jiwa kita, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quranul karim surat Ar-Ar`du (13) : 38.
Ketika berbicara tentang Alloh kita tidak hanya membahas sebagai Rabb (pencipta) namun kita juga membahas bahwa sebagai Malik dan Ilah. Secara definitive dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Malik memiliki makn pemilik, pemelihara, dan penghuasa. Ilah memiliki makna sebagai Yng paling dicinta. Yang paling ditakuti dan menjadi sumber pengharapan.
Allah SWT sebagai pencipta lebih mudah dipahami dibandingkan memahami Alloh sebagai Malik dan Ilah. Hal ini disebabkan karena memahami Allah sebagai malik memiliki berbagai konsekuensi antaranya konsekuensi pengabdian melaknasakan perintah-Nya, konsekuensi menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang paling dicintai, konsekuensi menjadikan Alloh sebagai satu-satuinya penguasa diri, dan sebagainya. Konsekuensi inilah yang biasanya menjadi kendala bagi kita untuk memehami Allah secara menyeluruh.

II. Makna Mengenal Allah
Ma`rifatullah adalah bahasa Arab yang terdiri dari dua kata ma`rifah dan Allah. Ma`rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Alloh yang diajarkan kepada manusia adalah mengenal melalui hasil penciptaan bukan melalui zat Allah. Karena dengan akal kita memiliki keterbatasan untuk memahami seluruh ilmu yang ada di dunia ini apalagi zat Allah.

III. Pentingnya Mengenal Allah.
Ma`rifatullah merupakan ilmu tertinggi yang harus dipahami manusia hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma`rifatullah adalah ilmu tertinggi sebab jika dipahami memebrikan keyakinan yang sangat dalam. Memahami ma`rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya yang terang yaitu keimanan (QS. Luqman (31) : 81)
Seseorang yang menganal Allah pasti akan tahu tujuan hidupya (Adzariyat (51):56)
Berilmu dengan ma`rifatullah sangat penting karena berhubungan dengan manfaat yang diperoleh yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, dengan kedua hal tersebut akan mempero,leh keberuntungan dan kebahagiaan yang hakiki.

IV. Jalan untuk Mengenal Allah
Akal dan fitrah
Pendengaran dan penglihatan
Alam semesta
Manusia dan hewan
Pengenalan jiwa
Mu`jizat.
Melalui Asmaul HUsna (Al-Mukmin (40):62), 2: 284)

V. Hasil mengenal Alloh adalah peningkatan iman dan taqwa sehingga muncul beberapa hal dibawah ini :
Kebebasan
Dengan mengenal ALloh kita menjadi manusia yang bebas tidak menjadi budak sesame makhluk dan tidak juga menyembah apapun kecuali ALloh SWT yang memang berhak disembah. 6:82
Memberikan ketenangan. 13: 28
Keberkahan 7:96
Kehidupan yang baik 16:97
Syurga 10: 25-26
Mardhotillah 98: 8

VI. Hal-hal yang Menghalangi Mengenal Allah
Kesombongan, 16:22, 40:35
Dzalim 61:7
Tidak berpengetahuan, 39:65-66
Dusta 2:10, 77:19
Menyimpang 5:13
Berbuat kerusakan/fasad 59 :19
Lalai 7:179
Berma`siat 83:14
Ragu-ragu, 24:50

Semua sifat di atas merupakan bibit kekafiran kepada Alloh yang harus dibersihkan dari hati dan pemahaman. Kekafiran menyebabkan Alloh mengunci hati, menutup mata dan manusia serta menyiksa mereka di neraka akibat perbuatan mereka.

Referensi :
Allah Jalla Jalalahu, Said Hawwa
Ma`rifatullah, DR.Irwan Prayitno.
Petunjuk Jalan, Sayyid Quthb
Tazkiyatun NAfs, Said Hawwa
Aqidah Seorang Muslim, Al Ummah

NB: sudahkan antum mengenal Alloh, sudahkan antum merasa yakin bahwa Ilah yang Mahabenar, sudahkah antum yakin bahwa Ialah yang akan menolong kita, sudahkah antum pahami bahwa Alloh selalu melihat perbuatan kita, sekecil apapun lintasan hati. Lalu seberapa seringkah kita mengingat Dia, curhat bareng dengan-Nya,

04 April, 2008

NASH DAN IJTIHAD

Abu Mahdi

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab:36)
Dasar-dasar Hukum Islam
Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-Sunnah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al-Quran dan Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena, memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama tetapi muatannya berbeda.
Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang mutlak.
Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena, Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang, pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala.
Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini keislaman seseorang.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula. Sehingga i'tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu, muslimin, mau tak mau, harus memilih juga, yang konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.
Ijtihad di Kalangan Muslimin
Ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'i. (al-Ra'ya al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Ihthiyath, hal.9). Ijtihad juga diartikan menguras tenaga dan jerih-payah untuk memperoleh hukum syar'i yang bersifat dugaan dari Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Ihtihsan dan sebagainya.
Muslimin (secara historis) menggunakan kesempatan berijtihad untuk melepaskan tanggung jawab dalam menjawab permasalahan kehidupan yang belum ditemui dalam hukum yang jelas (dhahir) sampai datangnya masa penaklukan kota Baghdad di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah oleh Bangsa Tartar (sekitar 665 H.) Setelah adanya kejadian tersebut, ulama tidak lagi terkumpul dan pintu ijtihad menjadi "tertutup". Dari sinilah hak ijtihad hanya menjadi milik mujtahid terdahulu.
Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.
Kasus Seputar Ijtihad
Dasar sumber-sumber ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun demikian, dari keempat sumber ini, bukan berarti tidak terbuka kemungkinan untuk tidak ditemukannya ketentuan hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan hasil kesimpulan yang tidak kokoh. Atau, dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk mendukung kasus yang ada.
Karena itu, terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.
Mujtahid Sebagai Standar Keilmuan
Islam sebagai agama dan ideologi merupakan sarana penghantar perjalanan manusia kepada Allah. Dengan sarana yang pasti ini, memastikan manusia untuk tidak memilih jalan lain atau berjalan di jalan yang salah. Sehingga manusia dengan sendirinya wajib memastikan dirinya untuk berada di dalam Islam. Pemikiran ideal ini menjadi i'tiqad muslimin. Dasarnya adalah dengan adanya Maksum maka i'tiqad dan idealnya Islam dapat terjaga bersamanya.
Tetapi dengan tidak adanya maksum, maka pikiran ideal merupakan i'tiqad tanpa kepastian untuk didapatkan dalam praktik kehidupan muslim. Maka muslimin mengejar idealisme kesempurnaan Islam dengan berusaha mendapatkan nilai ideal. Namun, karena agama samawi ini tidak memberikan jaminan kepada manusia yang tidak maksum secara takwin, maka Nilai Islam yang ada dalam i'tiqad muslimin pun tidak terjamin untuk kesempurnaannya pada kebenaran Ilahi. Kebenaran yang ada adalah nilai yang didapat dari usaha maksimal sebagai manusia untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab di hadapan Allah.
Maka akan ada selisih antara kebenaran yang bersifat absolut Ilahi yang di-i'tiqadi dengan nilai kebenaran yang diamalkan oleh manusia. Namun demikian, usaha yang dilakukan oleh muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al-Quran, Hadits/Sunnah, Ijma' dan Akal) yang kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, karena:
Pertama, tidak hadirnya Imam Maksum di antara muslimin. Islam sebagai sumber hukum dan nilai absolut, hanya ada pada Allah dan Maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar oleh pandangan muslimin.
Kedua, perkembangan pola hidup manusia. Ketika muslim merupakan bagian komunitas alam yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu keharusan.
Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan muslim, maka muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni ia harus selalu berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut merupakan kewajiban muslimin.
Dengan hal di atas pun bukan berarti permasalahan kewajiban tersebut telah terlepas dari persoalan, tetapi masih banyak masalah lain dalam ijtihad, seperti:
a. Apakah ijtihad hanya terbatas pada kasus-kasus yang tidak ada nashnya?
b. Apakah boleh berijtihad (ta'awul) ketika ada nash?
c. Mana yang harus didahulukan, ijtihad atau hadits nabawi?
d. Siapa yang berhak untuk berijtihad?
Empat kasus di atas telah membelah muslim menjadi dua pecahan, yaitu kelompok Ahl al-Ra'yu dan Ahl al-Hadits, tanpa disadari. Boleh jadi, dari sini pula kelompok kalam terbagi menjadi Mu'tazilah yang menggunakan akal untuk qiyas dalam menentukan hasan (baik) dan qubuh (buruk); dan kelompok Asy'ariy yang lebih mengutamakan hadits nabawi.
Apapun yang terjadi, permasalahan ini akan kembali kepada persoalan: adakah kini masih terbuka pintu ijtihad dan siapa yang dibenarkan untuk berijtihad?
Dibalik pertanyaan ini sebenarnya tersembunyi suatu hal yang sangat penting, yaitu fiqih itu sendiri. Karena, fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih. Keislaman seseorang terlihat dengan bentukan (pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad dan mujtahid memegang peran yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam kehidupan manusia.
Dalam Surat al-Taubah ayat 122 ditegaskan: "Mengapa tidak pergi sebagian di antara setiap golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya."
Fiqih berasal dari akar kata tafaqquh. Fiqih adalah pemahaman mendalam serta pengertian sempurna tentang realitas sesuatu. Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufrad Al-Quran menyatakan bahwa tafaqquh ialah spesialisasi, dengan mengatakan: tafaqqahu idza thalabahu fatakhashshasha bihi. Begitulah, Al-Quran memerintahkan muslimin untuk memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini.
Bergabungnya Semua Hukum Islam dengan Politik
Islam bukan merupakan satu sisi penilai terhadap persoalan, tapi Islam merupakan penilai dan penilaian dari semua sisi. Semua permasalahan, baik yang berhubungan dengan dunia, politik, masyarakat, ekonomi, dan juga semua permasalahan yang berhubungan dengan sisi-sisi yang tidak diketahui oleh ahli-dunia. Agama Tauhid didatangkan agar manusia mengetahui kedua sisi tersebut dan membahasnya. Dan untuk keduanya terdapat hukum di dalamnya.
Karena itu, muslim yang ber-tauhid tentu saja tidak hanya memandang dari satu sisi saja dan melupakan sisi lain. Islam, yang kesempurnaannya melebihi agama lain, semua hukumnya bergabung dengan politik. Semuanya terikat dalam politik. Shalat bersenyawa dengan politik. Haji, zakat, pelaksanaan negara, semuanya berhubungan dengan politik. Kaum isti'mar (penindas)-lah yang berusaha hendak memisahkan dan mengesampingkannya.
Dengan ini fungsi fuqaha (jamak dari faqih) merupakan fokus perjalanan Islam di tengah kehidupan Islam. Dinyatakan dalam ungkapan: "Fuqaha adalah benteng Islam seperti benteng kota untuk membentengi kota." Dari sisi lain dinyatakan: "Ulama adalah pewaris Nabi."
Jadi, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah faqih (yang menguasai fiqih) yang dapat menjaga Islam. Maka ulama akan masuk dalam standar keulamaan dengan predikat faqih-nya, untuk menjaga Islam. "Demikianlah sesungguhnya perjalanan semua hal dan ahkam ada pada tangan ulama Ilahi, penanggung-jawab halal dan haram-Nya."

TABARRUJ

Pembahasan wanita selalu menarik baik ditinjau dari segi manapun, karena wanita itu sendiri bersifat sebagai perhiasan kehidupan. (1) Perhiasan buruk atau baik akan mampu menarik mangsa untuk menikmatinya. Perhiasan ini selanjutnya dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan strategis. Tidak sedikit perhiasan ini difungsikan bersamaan dengan pengumbaran hawa nafsu. Karena itulah wanita berada pada posisi yang rawan. Mereka akan dilirik untuk dipropagandakan. Dengan demikian keberadaannya tergantung pada yang menguasainya, dan juga diwarnai oleh lingkungan tempat dia berada. Pada kondisi sekarang ini, wanita berada pada lingkungan atau sistem yang tidak kondusif untuk pembentukan kepribadian yang sholihah.
Perubahan sistem dari kondisi yang dholim ini kelak bisa mengantarkan terbentuknya suatu tatanan masyarakat yang islami, yang kemudian mampu melahirkan wanita-wanita yang sholihah. Tetapi selama perubahan sistem tidak terjadi, maka yang terjadi adalah banyaknya wanita Islam yang hanya mengambil sebagian hukum yang menguntungkan dirinya dan menolak untuk melaksanakan hukum-hukum yang tidak menguntungkan mereka. Dari situlah lahir wanita-wanita yang memamerkan perhiasannya secara mutlak, hingga menimbulkan birahi bagi yang memandangnya, dan sekaligus bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Dan pada akhirnya timbul masyarakat non islami, yang tatanan interaksi di dalamnya rusak, sehingga mengalami banyak problema yang penyelesaiannya justru menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu untuk membentuk masyarakat yang islami harus mengubah sistem secara total karena sistem inilah yang menjadi dasar pemicu lahirnya masyarakat jahiliyah modern ini.
SECARA UMUM ALLAH MEMBOLEHKAN PERHIASAN
Pada ayat 26, 31 dan 32 dalam surat Al A'raf, Allah SWT berfirman sebagai berikut,
"Hai anak-anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu, begitu pula pakaian perhiasan. Tetapi pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah supaya mereka selalu ingat." (26)
"Hai keturunan Adam, pakailah perhiasanmu pada setiap sembahyang..." (31)
"Katakanlah : 'Siapakah yang mengharamkan (memakai) perhiasan Allah yang dikeluarkan untuk hamba-hambaNya dan rizqi (makanan) yang baik?' Katakanlah : 'Semuanya itu untuk orang-orang yang beriman saat hidup di dunia dan khusus untuk mereka pada hari kiamat.'" (32)
Dari ayat-ayat di atas bisa diketahui bahwa pakaian ada dua macam :
Pakaian yang menutup aurat. Hal ini merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia, sehingga manusia bisa terlindungi dari bahaya alam dan manusia, seperti kedinginan, panas dan rasa malu. (2)
Pakaian yang berfungsi sebagai perhiasan. Hal ini bukan kebutuhan mendasar, namun hanya kebutuhan sekunder dan sebagai penyempurna saja. (3)
Sedangkan pada ayat kedua, Ibnu Katsir berpendapat bahwa disunnahkan pada setiap sholat untuk berhias sebaik-baiknya. (4)
Dari sini bisa diketahui bahwa Islam sangat sesuai dengan fitrah / naluri manusia yang secara universal adalah makhluk yang menyukai keindahan dan kebersihan. Bahkan ukuran standart masyarakat terhadap seseorang biasanya dinilai dari perilakunya terhadap keindahan dan kebersihannya, meskipun penilaian itu tidak benar. Demikian pula wanita, dia selalu suka dengan hal-hal yang indah dan serasi. Biasanya wanita selalu memilih warna pakaian yang cocok dengan kulitnya. Inilah yang disebut naluriah alami.
DEFINISI TABARRUJ
Tabarruj diambil dari QS. Al Ahzab ayat 33, yang merupakan akar kata yang artinya menampakkan perhiasan dan keindahan pada orang lain. (5) Sedangkan pendapat para ulama dalam mendefinisikannya berbeda-beda. (6) Al Mujahid berkata, Tabarruj adalah keluarnya wanita dan berjalannya di hadapan banyak laki-laki. Sedangkan Qotadah berkata bahwa tabarruj adalah jalannya wanita yang genit serta membuat-buat jalannya supaya tampak baik. Al Fara' berkata bahwa pakaian yang tipis dan membentuk tubuh (mensifati lekuk-lekuk tubuh) inilah yang disebut tabarruj. Taqiyuddin berkata, tabarruj adalah setiap perhiasan yang tidak biasa yang membuat laki-laki selalu memandangnya, dan perhiasan itu menampakkan keindahan-keindahan wanita. (7)
Dari definisi-definisi di atas, mengandung unsur-unsur yang tidak bertentangan, oleh sebab itu bisa digabung tentang makna tabarruj sebagai berikut :
Tabarruj yaitu penampakan perhiasan wanita yang diharamkan oleh Allah, dengan demikian penampakan keindahan-keindahan dari perhiasan tersebut jelas akan menjadi haram pula.
PENJELASAN DEFINISI TABARRUJ
Dari makna definisi di atas ada hal-hal yang bisa diketahui tentang penampakkan yang diharamkan dari keindahan-keindahan perhiasan :
Perhiasan yang diharamkan oleh Allah pada wanita berdasarkan QS An Nuur : 31. Pada ayat tersebut dijelaskan supaya wanita tidak menampakkan semua perhiasan kecuali yang biasa nampak (tangan dan wajah).
Menurut Asy Syafi'iyah : az zinah (perhiasan) ada dua :
perhiasan dalam arti tubuh wanita
perhiasan yang dibuat manusia, seperti anting-anting, kalung, pakaian dan lain-lain.
Jadi seluruh tubuh wanita sebagai perhiasan yang harus ditutup, termasuk juga perhiasan yang dibuat manusia yang menurut estetikanya berada pada selain wajah dan tangan (dimulai dari pergelangan tangan) seperti leher dan telinga. Wanita yang memakai perhiasan seperti gelang, cincin dan arloji selama tidak berlebihan, boleh hukumnya. Penggunaan cat kuku, pacar untuk pewarna kuku, pewarna wajah, celak untuk mata hukumnya juga boleh, karena perhiasan-perhiasan tersebut berada pada daerah yang diperbolehkan untuk tidak ditutup.
Diriwayatkan dari Bakiyah, dia berkata, bahwa saya mendengar Aisyah berkata,
"Bahwa Rasulullah SAW tidak suka pada perempuan yang di tangannya tidak ada cat pewarna (pacar)." (8)
Keindahan
Keindahan-keindahan yang berasal dari perhiasan yang diharamkan Allah, seperti pakaian yang mensifati lekuk tubuh wanita atau pakaian yang tipis, atau berpakaian namun masih terlihat leher dan rambutnya.
Keindahan-keindahan yang berasal dari perhiasan yang diperbolehkan oleh Allah, namun karena berlebihan (terlalu mencolok), sehingga menimbulkan birahi dan juga menimbulkan kecemburuan sosial, maka hal ini juga termasuk dalam kategori tabarruj dan hukumnya haram, seperti : lipstik, pemerah pipi yang mengandung syahwat parfum yang membangkitkan birahi, dan lain-lain.
Sedangkan lipstik untuk sekedar supaya tidak terlihat lusuh, dan parfum supaya menghilangkan bau badan maka hukumnya tidak termasuk tabarruj.
Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya parfum laki-laki adalah yang keras baunya namun warnanya lemah, sedangkan parfum wanita adalah yang keras warnanya dan lemah baunya." (HR Tirmidzi dan Nasa'i) (9)
Sedangkan hadits yang mengatakan jika perempuan berparfum dan lewat di majelis laki-laki adalah seperti pelacur, yang dimaksud hadits ini adalah parfum yang berlebihan dengan maksud supaya laki-laki tertarik padanya.
Jadi ada dua lafadz yang harus dipahami, yaitu tabarruj (etika berhias) dan zinah (perhiasannya). Selama Allah tidak mengharamkan perhiasan maka hukumnya boleh, namun bagaimana menggunakan perhiasan tersebut (etika berhias) ada aturan-aturan tersendiri. Untuk wanita terdapat aturan QS An Nuur : 31. Jika aktivitas berhias wanita ini bertentangan dengan aturan Allah, berarti dia telah menggunakan etika berhiasnya orang-orang jahiliyah (bodoh). Oleh karena itu wanita dilarang berhias seperti orang-orang jahiliyah (bodoh), sebagaimana dalam firman Allah QS Al Ahzab : 33. Sedangkan etika berhias untuk laki-laki agak dibebaskan oleh Allah. Laki-laki bebas berpakaian dan menggunakan perhiasan apa saja, seperti pakaian ketat, selama itu masih menutup aurat antara pusar sampai lutut. Namun untuk emas dan sutera diharamkan pemakaiannya, (10) dan ada juga sebagian ulama yang memakruhkannya.
Tiga ayat dalam QS Al A'raf adalah berbicara tentang perhiasan, sedangkan QS An Nuur : 31 adalah cara penggunaan perhiasan pada manusia, khususnya wanita. Jadi hukum tabarruj hanya berlaku bagi wanita.
PERNIKAHAN (WALIMAH) YANG ISLAMI
Setelah mengetahui makna tabarruj, maka hal-hal yang berkaitan dengan tabarruj hukumnya haram. Seperti kebanyakan masyarakat sekarang yang mengadakan resepsi pernikahan atau dalam acara yang lain masih sering bertabarruj. Misalnya dengan pakaian pengantin yang memperlihatkan aurat wanita, lipstik, pewarna wajah yang berlebihan, sehingga menimbulkan keinginan orang-orang untuk melihatnya. Agar terhindar dari tabarruj, seharusnya tempat pelaminan wanita diletakkan pada posisi yang hanya wanita saja yang bisa melihatnya. Jika demikian adanya maka bebas menggunakan perhiasan dengan tetap berprinsip tidak berlebihan, sebab tabarruj tidak terjadi karena dua hal :
Pada kehidupan khosh (khusus) ; seperti di rumah, boleh berhias sekehendak hati.
Pada sesama wanita dengan tetap berprinsip tidak berlebihan.
"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian sendiri."

Surabaya, 1 Maret 1996 / 11 Syawal 1416
Qismu Dakwah Yayasan Al Haromain

Catatan Kaki :
QS Ali Imran : 14. Menurut Ibnu Katsir, perhiasan berupa wanita dikarenakan oleh fitnah yang disebabkan wanita lebih berbahaya
Ibnu Katsir, Juz II, Hal. 12
Ibid., hal. 12
Ibid., hal. 15
Ibrahim Anis, Mu'zam Al Wasith, juz I, hal. 46
Ibnu Al Jauzy, Ahkamun Nisa', hal. 122
Taqiyuddin An Nabhani, Nidhom Al Ijtima', hal. 104
Ibid., hal 164
Ibrahim Muham Jamal, Fiqh Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 73
Yusuf Qordhowi, Al Halal wal Haram fil Islam, hal. 80

Islam dan llmu Pengetahuan

Pemikiran Barat sekarang ini berada di tengah-tengah peperangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Hampir tidak mungkin pemikir Barat sekarang ini menerima kenyataan bahwa kemungkinan ada pertemuan secara mendasar antara agama dan ilmu pengetahuan. Injil, yang menjadi kepercayaan orang Nasrani, menyatakan pohon di mana Nabi Adam AS dilarang memakannya adalah pengetahuan. Oleh karena itu, setelah dia memakan buahnya, dia memperoleh pengetahuan tertentu yang mana tidak dia peroleh sebelumnya. Dengan alasan inilah orang Eropa membantah bahwa selama dua abad mereka tidak menerima pengetahuan ilmiah yang datang dari orang Islam.
Gereja menyatakan bahwa pencarian seperti penge­tahuan ilmiah adalah penyebab dosa yang asli. Uskup menggambarkan bukti mereka dari Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa ketika Adam memakan pohon itu, ia mendapat beberapa pengetahuan, Allah tidak menyukainya dan menolak memberinya kemurahan hati. Oleh karena itu, pengetahuan ilmiah menolak sepenuhnya peraturan gereja yang dianggap sebagai hal yang tabu. Akhirnya, ketika pemikir bebas dan ilmuwan Barat sanggup mengatasi kekuatan gereja, mereka membalas dendam dengan mencari petunjuk yang berlawanan dan menekan beberapa kekuatan agama. Mereka beralih kepada hal-hal yang berlawanaan untuk mengatasi kekuatan gereja dan mengurangi pengaruhnya kepada hal yang sempit dan membatasi pada sudut-sudut tertentu.
Oleh karena itu, jika Anda membicarakan persoalan agama dan ilmu pengetahuan dengan pemikir Barat, dia benar-benar akan keheranan. Mereka tidak tahu Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Islam menjunjung tinggi status ilmu pengetahuan dan orang yang berilmu, menghormati mereka sebagai saksi setelah malaikat yang berhubungan dengan fakta baru tiada Tuhan selain Allah, sebagaimana yang telah Allah firmankan kepada kita:

"Tuhan menyatakan, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia, dan malaikat-malaikat dan orang-orang berilmu yang tegak dengan keadilan. " (QS AIi Imran : 18)

Dan Allah Yang Maha Agung dan Maha Muha berfirman kepada kita:

"Oleh sebab itu, ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah ". (QS Muhammad : 19)

Telah diketahui dari al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan para pemikir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah.
Di antara pemikir Barat yang menampakkan keterkejutannya itu adalah Prof. Dr. Joe Leigh Simpson, Ketua jurusan Ilmu Kebidanan dan Ginekologi dan Pakar Molecular dan Genetika Manusia, Baylor College Medicine, Houston. Ketika kami pertama kali bertemu dengannya, Profesor Simpson menuntut pembuktian al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, kami sanggup menghilangkan kecurigaannya. Kami menunjukkan kepadanya sebuah naskah garis besar perkembangan embrio. Kami membuktikan kepadanya bahwa al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa turunan atau hereditas dan sifat keturunan atau kromosom yang tersusun hanya bisa terjadi setelah perpaduan yang berhasil antara sperma dan ovum. Sebagaimana yang kita ketahui, kromosom-kromosom ini berisi semua sifat-sifat baru manusia yang akan menjadi mata, kulit, rambut, dan lain-lain.
Oleh karena itu, beberapa sifat manusia yang tersusun itu ditentukan oleh kromosomnya. Kromosom-kromosom ini mulai terbentuk sebagai permulaan pada tingkatan nutfah dari perkembangan embrio. Dengan kata lain, ciri khas manusia baru terbentuk sejak dari tingkatan nutfah yang paling awal. Allah Yang Maha Agung dan Yang Maha Mulia berfirman di dalam Al-Quran:

"Celakalah kiranya manusia itu! Alangkah ingkarnya (kepada Tuhan). Dari apakah dia di­ciptakan? Dari setetes air mani. (Tuhan) menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan dengannya. " (QS Abasa : 17-19)

Selama empat puluh hari pertama kehamilan, semua bagian dan organ tubuh telah sempurna atau lengkap, terbentuk secara berurutan. Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada kita di dalam hadisnya: "Setiap dari kamu, semua komponen penciptamu terkumpul dalam rahim ibumu selama empatpuluh hari." Di dalam hadis lain, Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Ketika setetes nuftah telah melewati 42 malam, Allah menyuruh seorang malaikat ke rahim perempuan, yang berkata: `Ya Tuhan! Ini laki-­laki atau perernpuan?' Dan Tuhanmu memutus kan apa yang Dia kebendaki. "

Profesor Simpson mempelajari dua hadis ini secara intensif, yang mencatat bahwa empat puluh hari pertama itu terdapat tingkatan yang dapat dibedakan secara jelas atau embriogenesis. Secara khusus, Dia dibuat kagum dengan ketelitian yang mutlak dan keakuratan ke­dua hadis tersebut. Kemudian dalam salali satu konferensi yang dihadirinya, dia memberikan pendapat sebagai berikut: "Dari kedua hadis yang telah tercatat dapat membuktikan kepada kita gambaran waktu secara spesifik perkembangan embrio sebelum sampai 40 hari. Terlebih lagi, Pendapat yang telah berulang-ulang dikemukakan pembicara yang lain pagi ini. bahwa kedua hadis ini telah menghasilkan dasar pengetahuan ilmiah yang mana rekaman mereka sekarang ini didapatkan".
Profesor Simpson mengatakan bahwa agama dapat menjadi petunjuk yang baik untuk pencarian ilmu pengetahuan. Ilmuwan Barat telah menolak hal ini. Seorang ilmuwan Amerika mengatakan bahwa agama Islam dapat mencapai sukses dalam hal ini. Dengan analogi, jika Anda pergi ke suatu pabrik dan Anda berpedoman pada mengoperasikan pabrik itu, kemudian Anda akan paham dengan mudah bermacam-macam pengoperasian yang berlangsung di pabrik itu. Jika Anda tidak memiliki pedoman ini, pasti tidak memiliki kesempatan untuk memahami secara baik variasi proses tersebut. Profesor Simpson berkata: "Saya pikir tidak ada pertentangan antara ilmu genetika dan agama, tetapi pada kenyataannya agama dapat menjadi petunjuk ilmu pengetahuan dengan tambahan wahyu ke beberapa pendekatan ilmiah yang tradisional. Ada kenyataan di dalam al-Quran yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan menjadi valid, yang mana al-Quran mendukung ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah."
Inilah kebenaran. Orang-orang Islam tentunya dapat memimpin dalam cara pencarian ilmu pengetahuan dan mereka dapat menyampaikan pengetahuan itu daIam status yang sesuai. Terlebih lagi orang Islam mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan itu sebagai bukti keberadaan Allah, Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia untuk menegaskan kerasulan Nabi Muhammad SAW
Allah berfirman di dalam al-Quran:

"Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. " (QS Fushshilat : 53)

Setelah menyadari melalui beberapa contoh keajaiban al-Quran secara ilmiah yang telah diketahui berhubungan dengan komentar yang objektif dari para ilmuwan, mari kita tanyakan pada diri kita sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut:
Dapatkah hal ini mejadi sebuah kejadian yang kebetulan bahwa akhir-akhir ini penemuan informasi secara ilmiah dari lapangan yang berbeda yang tersebutkan di dalam al-Quran yang telah turun pada 14 abad yang lalu?
Dapatkah al-Quran ini ditulis atau dikarang Nabi Muhammad SAW atau manusia yang lain?
Hanya jawaban yang mungkin untuk pertanyaan itu bahwa al-Quran secara harfiah adalah kata-kata atau firman Allah yang diturunkan kepadanya. Al-Quran adalah perkataan yang harfiah dari Allah yang Dia turunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang melalui malaikat Jibril. Al-Quran ini dihapalkan oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian didiktekan kepada sahabat-sahabatnya. Para sahabat inilah yang selanjutnya secara bergiliran menghapalkannya, menulis ulang, dan memeriksa/meninjau lagi dengan Nabi Muhammad SAW
Terlebih lagi, Nabi Muhammad SAW memeriksa kembali al-Quran dengan malaikat Jibril sekali setiap bulan Ramadhan dan dua kali di akhir hidupnya pada kalender Hijriah yang sama. Sejak al-Quran diturunkan sampai hari ini, selalu ada banyak orang Islam yang menghapalkan semua ayat al-Quran surat demi surat. Sebagian dari mereka ada yang sanggup menghapal al-Quran pada waktu berumur 10 tahun. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tidak ada satu surat pun di dalam al-Quran yang berubah selama berabad-abad sampai sekarang.
Al-Quran telah diturunkan 14 abad yang lalu menyebutkan fakta yang baru ditemukan akhir-akhir ini yang telah dibuktikan oleh para ilmuwan. Hal ini membuktikan tidak ada keraguan bahwa al-Quran adalah firman yang harfiah dari Allah, yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah benar-benar nabi dan utusan yang diturunkan Allah. Hal ini adalah di luar alasan bahwa setiap manusia 14 abad yang lalu telah mengetahui beberapa fakta ini yang ditemukan atau dibuktikan akhir-akhir ini dengan peralatan canggih dan metode yang rumit.