Search This Blog

31 March, 2008

Bukti Cinta Allah kepada Hamba-Nya

Ada dua cinta yang hakiki dan tak pernah luntur, yaitu cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta ibu terhadap anaknya. Namun keduanya memiliki nilai berbeda.


Cinta Allah itu adalah cinta yang tidak terbatas. Hakikat dan besarnya tidak bisa dipersamakan dengan kasih sayang siapa pun. Allah SWT berfirman, "Rahmat (kasih sayang)-Ku meliputi segala sesuatu." (QS Al-A'raf [7]: 156).

Untuk memberikan gambaran kepada umat tentang kasih sayang Allah, Rasulullah mengibaratkan kalau kasih sayang Allah itu berjumlah seratus, maka yang sembilan puluh sembilan disimpan dan satu bagian lagi dibagi-bagi. Yang satu bagian bisa mencukupi seluruh kebutuhan makhluk. Hal ini menunjukkan betapa luasnya cinta Allah. Ada beberapa bukti nyata-dari banyak bukti-tentang besarnya cinta Allah kepada manusia.

Bukti cinta yang pertama adalah diturunkannya Alquran. Allah SWT, Al Khaliq tidak membiarkan kita kebingungan dalam menjalani hidup. Dia menurunkan Alquran sebagai penuntun hidup, agar kita dapat meraih bahagia di dunia dan akhirat. Firman-Nya, "Kitab ini tidak ada keraguan padanya; (merupakan) petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS Al Baqarah [2] : 2).

Dalam ayat lain difirmankan pula, "Sebenarnya Alquran itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; agar mereka mendapat petunjuk." (QS As-Sajdah [32]: 3).

Dr Quraish Shihab mencatat ada tiga petunjuk penting yang diberikan Alquran.

Pertama, petunjuk akidah yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian hari pembalasan.

Kedua, petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan moral, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial. Ketiga, petunjuk mengenai syariat dan hukum, yaitu dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia.

Mengutus para rasul
Secara fitrah, setiap manusia membutuhkan teladan yang bisa dijadikan rujukan. Untuk memenuhi kebutuhan itulah, Allah mengutus para Rasul. Dalam QS Al An'am [6] ayat 48, Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Inilah bukti kecintaan Allah yang kedua. Dia tidak membiarkan manusia berjalan "sendirian". Dia mengaruniakan "teman terbaik" yang akan menemani manusia menuju jalan kebahagiaan, mengenalkan manusia kepada Tuhannya, sekaligus menjadi model manusia yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Firman-Nya, Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS Al Ahzab [33]: 21).

Kita yang hidup tidak sezaman dengan Rasulullah SAW, dapat membuka warisannya berupa hadis dan sunah. Di dalamnya terdapat penjelasan yang rinci tentang semua ajaran Allah. Ajaran yang berisi tentang petunjuk menjalin hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan dengan manusia (hablum minannas). Di dalamnya kita juga mendapati gambaran karakter mulia Rasulullah SAW sebagai teladan paling baik.

Diciptakannya alam semesta
Allah SWT tidaklah menciptakan alam semesta tanpa maksud. Dia menjadikan semua yang ada di bumi dan di langit untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Difirmankan, Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, kemudian Dia menuju langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS Al Baqarah [2]: 29).

Seluruh potensi yang ada di dalam dan permukaan bumi dihamparkan untuk diambil manfaatnya oleh manusia. Tidak ada satu pun makhluk di alam ini yang tidak bermanfaat. Nyamuk misalnya. Walaupun menganggu, nyamuk dapat membangkitkan kreativitas manusia, obat nyamuk contohnya. Dengan adanya nyamuk, banyak orang yang tercukupi ekonominya.
Allah telah menciptakan alam dengan sangat sempurna, sehingga manusia dapat hidup di dalamnya dengan nyaman. Semuanya telah ditata dengan akurat.

Perjalanan siang dan malam, rantai makanan antara makhluk hidup sampai pada lingkungan tempat ia hidup, semuanya telah diatur dengan hukum-Nya.

Luasnya ampunan Allah
Bukti keempat adalah luasnya ampunan Allah SWT. Sebanyak apa pun dosa manusia, Allah pasti akan mengampuni, asalkan ia betul-betul bertobat. Allah SWT telah berjanji dalam Alquran, "Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya." (QS Hud [11]: 3)

Tangan Allah terbuka setiap saat bagi orang yang mau bertobat. Rasulullah SAW bersabda, "Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang berbuat keburukan di siang hari bertobat, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berbuat keburukan di malam hari bertobat. (Ini akan terus berlaku) hingga matahari terbit dari arah Barat (HR Muslim).
Dia akan mengampuni semua dosa, sekalipun dosanya sepenuh isi bumi, "Wahai manusia, sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa seisi bumi kemudian kamu bertemu Aku dengan dalam kedaan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu apa pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan membawa ampunan seisi bumi pula," demikian bunyi sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Imam Tirmidzi.

Memberikan rezeki
Allah adalah Al Razzaq, Dzat Maha Pemberi Rezeki. Setiap makhluk diberi-Nya rezeki agar mereka dapat hidup dan beribadah kepada Allah SWT. Tidak ada satu pun makhluk yang tidak diberi rezeki, termasuk manusia. Firman-Nya, Katakanlah, 'Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)'. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baik pemberi rezeki." (QS Saba [34]: 39).
Demikian pula makhluk yang lain. "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz)." (QS Hud [11]: 6)


Inilah tanda bukti cinta Allah yang kelima. Setiap kita telah diberi bagian rezeki. Yang perlu dilakukan adalah ikhtiar menjemput rezeki itu. Allah memberi kasih sayang-Nya yang tak terbatas agar kita bersyukur. Dan syukur yang paling utama adalah mengabdi dengan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Wallahu a'lam.

30 March, 2008

ISTIQOMAH

Setiap muslim yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya, harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus terwarnai dengan nilai-nilai tersebut baik dalam kondisi aman maupun terancam. Namun dalam realitas kehidupan dan fenomena umat, kita menyadari bahwa tidak setiap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu meimplementasikan dalam seluruh sisi-sisi kehidupannya. Dan orang yang mampu mengimplementasikannya belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam, yaitu komitmen dan istiqomah dalam memegang ajarannya dalam sepanjang perjalanan hidupnya.

Maka istiqomah dalam memegang tali Islam merupakan kewajiban asasi dan sebuah keniscayaan bagi hamba-hamba Allah yang menginginkan husnul khatimah dan harapan-harapan surgaNya. Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَارِبُوا وَسَدِّدُوا وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْتَ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ رواه مسلم

Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga kamu Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)


Istiqamah bukan hanya diperintahkan kepada manusia biasa saja, akan tetapi istiqamah ini juga diperintahkan kepada manusia-manusia besar sepanjang sejarah peradaban dunia, yaitu para Nabi dan Rasul. Perhatikan ayat berikut ini;


Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)

DEFENISI


Istiqamah adalah anonim dari thughyan (penyimpangan atau melampaui batas). Ia bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata istiqamah dari kata “qooma” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi, istiqamah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.


Secara terminologi, istiqamah bisa diartikan dengan beberapa pengertian berikut ini;

  • Abu Bakar As-Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqamah ia menjawab; bahwa istiqamah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapa pun)

  • Umar bin Khattab ra berkata, “Istiqamah adalah komitment terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipuan musang”

  • Utsman bin Affan ra berkata, “Istiqamah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt”

  • Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”

  • Al-Hasan berkata, “Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan”

  • Mujahid berkata, “Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah swt”

  • Ibnu Taimiah berkata, “Mereka beristiqamah dalam mencintai dan beribadah kepada-Nya tanpa menengok kiri kanan”


Jadi muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan dakwah. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah yang diembannya. Meskipun tahapan dakwah dan tokoh sentralnya mengalami perubahan. Itulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu istiqamah dalam sepanjang jalan dan di seluruh tahapan-tahapan dakwah.


DALIL-DALIL DAN DASAR ISTIQOMAH


Dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan masalah istiqamah di antaranya adalah;


Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)


Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasullah dan orang-orang yang bertaubat bersamanya harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan. Istiqomah dalam mabda (dasar atau awal pemberangkatan), minhaj dan hadaf (tujuan) yang digariskan dan tidak boleh menyimpang dari perintah-perintah ilahiah.


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".


Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 41: 30-32)


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;

sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.(QS 46:13-14)


Empat ayat di atas menggambarkan urgensi istiqamah setelah beriman dan pahala besar yang dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun. Hal ini juga dikuatkan beberapa hadits nabi di bawah ini;

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ رواه مسلم

Aku berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamahlah (jangan menyimpang).” (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)


Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqomah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorangpun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga Anda Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerahNya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)



Selain ayat-ayat dan beberapa hadits di atas, ada beberapa pernyataan ulama tentang urgensi istiqamah sebagaimana berikut;


Sebagian orang-orang arif berkata, “Jadilah kamu orang yang memiliki istiqomah, tidak menjadi orang yang mencari karomah. Karena sesungguhnya dirimu bergerak untuk mencari karomah sementara Robbmu menuntutmu untuk beristiqomah.”


Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebesar-besar karomah adalah memegang istiqamah.”



FAKTOR-FAKTOR YANG MELAHIRKAN ISTIQOMAH


Ibnu Qayyim dalam “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;

-Beramal dan melakukan optimalisasi


Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS 22:78)


-Berlaku moderat antara tindakan melampui batas dan menyia-nyiakan


Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS 25:67)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam Ahmad dari sahabat Anshar)


-Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu pengetahuannya


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban.” (QS 17:36)


-Tidak menyandarkan pada faktor kontemporal, melainkan bersandar pada sesuatu yang jelas

-Ikhlas


Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang

lurus.” (QS 98:5)


-Mengikuti Sunnah, Rasulullah saw bersabda, “Siapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perbedaan yang keras, maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidin (yang lurus), gigitlah ia dengan gigi taringmu.”(Abu Daud dari Al-Irbadl bin Sariah)


Imam Sufyan berkata, “Tidak diterima suatu perkataan kecuali bila ia disertai amal, dan tidaklah lurus perkataan dan amal kecuali dengan niat, dan tidaklah lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai dengan sunnah.”


DAMPAK POSITIF DAN BUAH ISTIQOMAH


Manusia muslim yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran Islam dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang positif dan buahnya yang lezat sepanjang hidupnya. Adapun dampak dan buah istiqomah sebagai berikut;


a-Keberanian (Syaja’ah)


Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak akan gentar menghadapi segala rintangan dakwah. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu jugaberbeda dengan orang yang di dalam hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan kegamangan dalam melangkah dan kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan dakwah. Perhatikan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 52 di bawah ini;

Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”

Dan kita bisa melihat kembali keberanian para sahabat dan para kader dakwah dalam hal ini;

-Ketika Rasulullah saw menawarkan pedang kepada para sahabat dalam perang Uhud, seketika Abu Dujanah berkata, “Aku yang akan memenuhi haknya, kemudian membawa pedang itu dan menebaskan ke kepala orang-orang musyrik.” (HR Muslim)

-Pada saat seorang sahabat mendapat jawaban dari Rasulullah saw bahwasanya ia masuk surga kalau mati terbunuh dalam medan pertempuran, maka ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya lagi seraya melempar kurma yang ada di genggamannya kemudian ia meluncur ke medan pertempuran dan akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan yaitu, syahadah (mati syahid). (Muttafaqun Alaih)

-Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abu Thalib setelah ia menerima bendera Islam dalam peperangan Khaibar sebagai berikut, “Jalanlah, jangan menoleh sehingga Allah SWT memberikan kemenangan kepada kamu.” Lantas Ali berjalan, kemudian berhenti sejenak dan tidak menoleh seraya bertanya dengan suara yang keras; “Ya Rasulullah atas dasar apa aku memerangi manusia?” Beliau bersabda, “Perangi mereka sampai bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah……” (HR Muslim)

Inilah gambaran keberanian para sahabat yang lahir dari keistiqomahannya yang harus diteladani oleh generasi-generasi penerus dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan Islam.


b-Ithmi’nan (ketenangan)


Keimanan seorang muslim yang telah sampai pada tangga kesempurnaan akan melahirkan tsabat dan istiqomah dalam medan perjuangan. Tsabat dan istiqomah sendiri akan melahirkan ketenangan, kedamaian dan kebahagian. Meskipun ia melalui rintangan dakwah yang panjang, melewati jalan terjal perjuangan dan menapak tilas lika-liku belantara hutan perjuangan. Karena ia yakin bahwa inilah jalan yang pernah ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang agung yaitu para Nabi, Rasul, generasi terbaik setelahnya dan generasi yang bertekad membawa obor estafet dakwahnya. Perhatikan firman Allah di bawah ini;

Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepadamusuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”(QS 3:146)

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS 6:82)


(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS 13:28)

c-Tafa’ul (optimis)


Keistiqomahan yang dimiliki seorang muslim juga melahirkan sikap optimis. Ia jauh dari sikap pesimis dalam menjalani dan mengarungi lautan kehidupan. Ia senantiasa tidak pernah merasa lelah dan gelisah yang akhirnya melahirkan frustasi dalam menjalani kehidupannya. Kefuturan yang mencoba mengusik jiwa, kegalauan yang ingin mencabik jiwa mutmainnahnya dan kegelisahan yang menghantui benaknya akan terobati dengan keyakinannya kepada kehendak dan putusan-putusan ilahiah. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh beberapa ayat di bawah ini;


Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS 57:22-23)


Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".(QS 12: 87)


Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat".(QS 15:56)


Maka dengan tiga buah istiqomah ini, seorang muslim akan selalu mendapatkan kemenangan dan merasakan kebahagiaan, baik yang ada di dunia maupun yang dijanjikan nanti di akherat kelak. Perhatikan ayat di bawah ini;


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat;di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta.Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 41:30-32)

MUBAI’ATULLAH

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath: 10)

Masdarnya adalah Mubai’atullah. Mubai’atullah terdiri dari 2 kata:

  1. Mubaya’ah, artinya melakukan transaksi jual beli. Ada 2 pihak yang terlibat. Ada penjual dan ada pembeli. Dalam bahasa Arab disebut musyarakah (kerja sama)

  2. Allah (lafazh yang paling tinggi) sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Penguasa jagat raya termasuk manusia.

Mubai’atullah dapat didefinisikan sebagai sebuah transaksi jual beli yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan Allah Taala.

Untuk memahami lebih lanjut tentang mubai’atullah ada beberapa hal penting yang haus digaris bawahi:

  1. Ada penjual yang menjual sesuatu, yaitu mukmin

  2. Ada pembeli yang membeli, yaitu Allah Taala.

Allah adalah produsen dan sekaligus pembeli. Sedangkan orang mukmin sebagai penjual. Yang dijual orang mukmin adalah sesuatu yang berasal dari Allah dan sesuatu yang dibeli Allah adalah sesuatu yang diciptakan-Nya sendiri, yakni jiwa dan harta manusia. Ada nilai transaksi berupa surga dan ampunan-Nya.

Allah sebagai produsen dan sekaligus sebagai pembeli sedangkan manusia sebagai penjual, padahal ia bukan produsen sebenarnya, jadi bukanlah hal yang lazim. Namun itulah wujud kemurahan Allah, Dia menciptakan manusia dan memberikannya harta, namun Dia juga yang membelinya dengan nilai transaksi tidak tanggung-tanggung, yakni surga.

Keutamaan lainnya yang terdapat dalam transaksi jual beli dengan Allah ialah bahwa nilai tukar yang Allah berikan tidak sebanding atau jauh lebih besar dari barang yang dibeli-Nya. Manusia bila membeli sesuatu ternyata mendapatkan kualitas barang yang tidak sesuai dengan uang yang dibayarkannya, biasanya akan marah dan protes karena dianggap pihak penjual melanggar aturan main.

Namun Allah Taala yang Maha Pemurah dan Penyayang tidak demikian halnya dalam mencurahkan kasih sayang-Nya. Ayat-ayat dalam Al-Quran banyak menyebutkan bahwa Allah sangat besar karunia-Nya dan besar itu relatif, bisa 1 banding 1000 bisa 1 banding 1 milyar. Dan jika harta dan jiwa kita jual kepada Allah, lalu dibeli-Nya dengan surga (Q.S. At-Taubah: 111), As-Shaff: 10-11) itu berarti sudah tiada bandingnya. Apalagi dalam hadits disebutkan,

قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر

“Telah aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh surga yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergambarkan oleh pikiran manusia.”

Oleh karena itu generasi Islam yang pertama, tahu betul tentang rahasia Allah, maka mereka semua pun terlibat dalam transaksi mulia tersebut.

Implementasi mubai’atullah terwujud dalam suatu kewajiban atau aktifitas muslim yang sangat berat, yaitu jihad fi sabilillah. Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kamu akan aku tunjukkan bahwa pokok persoalan itu terletak pada Laa ilaaha illallah, kemudian tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.

Mengapa dikatakan puncaknya adalah jihad?

Pertama, karena hanya dengan jihadlah umat akan memiliki izzah atau martabat. Seorang ulama mengatakan bahwa tidak ada izzah tanpa jihad. Kalau shalat semua orang bisa melakukan shalat, tetapi tidak secara langsung berdampak izzah terhadap umat. Hal terpenting dalam kehidupan umat Islam adalah izzah. Al-Qur’an menyatakan izzah itu hanya milik Allah, Rasul dan umat Islam. Bila di negeri muslim sendiri Islam dianggap asing, nilai-nilai Islam tidak lagi dianut dan malah cara barat yang dipakai dan ditiru, maka izzahnya akan dicabut Allah. Salah satu faktor yang bisa meniadakan izzah adalah meninggalkan jihad fi sabilillah.

Kedua, jihad merupakan ibadah dan kewajiban yang menuntut harta dan jiwa sekaligus. Bila kita puasa atau shalat, keduanya tidak menuntut kita untuk memberikan harta dan jiwa. Kemudian jika kita pergi haji yang dituntut hanya harta dan tidak jiwa.

Puncak ketinggian umat Islam akan menyebabkan seorang mukmin dapat izzah (kemuliaan) di sisi Allah, namun menuntut adanya pengorbanan harta dan jiwa. Allah Taala menggambarkan bagaimana sejarah sahabat dahulu yang paham akan jihad. Dalam surat Al-Fath ayat 18-19,

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا. وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka bermubaya’ah (berbaiat atau berjanji setia) kepadamu (Rasulullah) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Mubaya’ah dengan Rasul merupakan implementasi mubaya’ah dengan Allah. Betapa generasi sahabat yang pertama tahu dan paham serta tidak mengendorkan semangat mereka untuk mubaya’ah dengan Allah. Bila kita lihat misalnya peristiwa Hudaibiyah, dilihat dari target-target materialnya, isi perjanjian itu benar-benar merugikan. Para sahabat memang sempat gelisah, kecewa dan bertanya-tanya bahkan Umar ra. Kecewa sekali dan bertanya, “Alasta Rasulullah?” (Bukankah engkau adalah utusan Allah?)

Mereka kecewa karena belum dapat mencerna mengapa harus mengalah seperti itu kepada kaum kafir Quraisy. Namun Allah kemudian menurunkan ketenangan hati mereka dan mereka menjadi teringat baiat mereka kepada Rasulullah. Mereka akhirnya paham bahwa perjanjian itu hanyalah sebuah strategi yang berujung dengan kemenangan berupa penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah) tidak lama setelah itu. Ada nikmat banyak yang mereka peroleh yaitu balasan yang tidak hanya ukhrawi tetapi juga duniawi.

Ibrah yang dapat kita ambil untuk dijadikan motivasi adalah bahwa jika Allah membebani kewajiban yang harus dikerjakan hamba-Nya, maka Dia tidak hanya memberikan pahala di akhirat, melainkan juga imbalan-imbalan konkret di dunia. Allah Maha Tahu bahwa faktor-faktor duniawi adalah faktor pendukung yang berguna untuk sampai ke akhirat nanti.

Kita bisa melihat di dalam Al-Qur’an yang dimaksud ketenangan jiwa adalah kenikmatan duniawi yang membuat mereka tidak gelisah dan tidak menjadi kafir. Kemudian masalah harta rampasan, sama halnya dengan orang pergi berdagang, pulang membawa harta, maka orang yang berperang di jalan Allah pun pulang membawa harta. Allah tidak menuntut apa-apa, bahkan memberikan peluang material achievemen (hasil material) kepada para mujahid. Hanya saja yang perlu dijaga adalah masalah motivasi yang utama, yakni ridha, surga dan ampunan-Nya. Ketika Allah mengatakan,

وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى

“Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.”

Maksudnya bukan berarti bahwa dunia tidak baik, melainkan akhirat itu lebih baik lagi dibanding dunia. Di dunia makan enak, di akhirat jauh lebih enak lagi. Di sini minum susu, di sana juga minum susu. Hanya di surga ada sungai susu yang tidak perlu disterilkan lagi. Di dunia kita minum susu sedikit, di sana bisa dan mampu minum susu sepuas-puasnya. Jadi baik kualitas maupun kuantitas nikmat di dunia jelas kalah jauh dibanding nikmat di akhirat.

Sehingga kita tidak boleh berbai’ah dengan orientasi duniawi, yaitu mencari kemashuran, keuntungan atau ghanimah, melainkan harus dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Dan seandainya kita pun mendapatkan ghanimah, kita harus memenejnya secara benar seperti aturan main yang ada dalam surat Al-Anfal.

Para sahabat paham benar dengan Q.S. At-Taubah: 111) bahwa untuk mendapatkan surga harus dengan jihad di sabilillah dan tidak cukup dengan harta, melainkan juga harus dengan jiwa. Alternatif pilihannya hanya dua, yakni membunuh atau dibunuh dan itu janji Allah yang sudah tertera di Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan janji Allah pasti benar.

Untuk dapat memahami bai’ah kepada Allah harus dipahami beberapa hal mendasar berikut ini:

  1. Bai’ah tidak mungkin terjadi, kecuali melalui proses keimanan yang benar. Jika keimanan seseorang belum benar dan mantap sulit baginya untuk berbai’ah karena untuk itu dituntut pengorbanan setiap saat. Persatuan akidah menjadi landasan persatuan umat yang akan dibangun. Selama belum ada kesatuan persepsi tentang akidah, akan sangat sulit untuk mempersatukan umat. Demikian pula masalah membeelakukan kewajiban jihad.

  2. Jihad fi sabilillah membutuhkan perngorbanan harta dan jiwa. Artinya Allah memerintahkan kita mempersiapkan iman dan kemudian harta serta jiwa. Kewajiban jihad harus didahului dengan mewajiban mencari harta, karena jihad perlu pendanaan yang besar. Misalnya dulu di Afganistan, harga satu roket stringer US $ 40.000, apalagi sekarang. Itupun kalau roket tersebut tepat mengenai sasaran, jika tidak hilanglah uan gsebsar itu. Budget pendidikan seluruh Indonesia dibandingkan budget untuk militer seper berapanya? Untuk mendirikan stasiun TV diperlukan modal 100 juta dolar. Jika uang itu digunakan untuk membeli roket stringer berarti hanya untuk 25 stringer atau 25 kali tembakan. Jika satu hari ditembakkan satu roket, berarti hanya cukup untuk 25 hari. Sementara stasiun TV bisa bertahan puluhan tahun. Belum lagi untuk yang lainnya, seperti harus melintasi dan melewati gunung. Jihad tidak akan langgeng jika hanya mengandalkan kantong orang lain. Misalnya perang Afgan yang sebelumnya didanai negara-negara Teluk (Arab), ketika terjadi perang teluk dana tersebut dialihkan untuk membayar As dan sekutu-sekutunya.

  3. Hasil yang akan diperoleh dari jihad fi sabilillah melingkupi kemenangan individu bagi mujahidnya, yaitu diampuni dosanya dan di akhirat mendapat jannah ‘adn. Ada lagi kemenangan jama’i (komunitas) yang sifatnya di dunia yaitu penaklukan-penaklukan sebagai persyaratan dan peluang untuk menegakkan syariat Allah. Jadi mubaya’ah dengan Allah ada imbalan individual dan komunal. Namun tentu saja diperlukan kekuatan motivasi, persiapan dan strategi-strategi. Hadits Rasulullah saw. memberikan motivasi yang besar, “Dari Miqdad. Syahid itu di sisi Allah mendapat enam perkara; kelebihan pertama diampuni dosa pada awal syahid, kedua melihat tempat duduknya, dilindungi dari azab kubur, keempat Allah lindungi dari ketakutan pada hari kiamat, kelima Allah letakkan di kepalanya mahkota dari ya’qut lebih baik dari dunia dan isinya dan keenam Allah nikahkan dia dengan 72 bidadari dan dia dapat memberi syafaat 70 orang”.

Wallahu’alam bisawab

ASY-SYAJA’AH

Asy-syaja’ah (keberanian) adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).

Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah.

Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada ayat (QS. Huud [11]: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah,

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

Rasulullah saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)”.

Di kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.

Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman di dalam surat Al-Buruuj (QS. 85) yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah Taala.

Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi menuhankan Firaun.

Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk mewujudkan asy-syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.

Secara manusiawi seseorang memang memiliki sifat khauf (takut) sebagai lawan sifat asy-syaja’ah. Namun sifat khauf thabi’i (alamiah) yang diadakan Allah di dalam diri manusia sebagai mekanisme pertahanan diri seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh dimangsa binatang buas, harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah Taala. Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa a.s, Ibrahim a.s dan Muhammad saw.

Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme dan keberanian Nabi Musa a.s yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.

Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.

Keberanian, ketawakalan dan kepasrahan pada Allah yang membuahkan pertolongan-Nya juga terlihat pada saat Rasulullah Muhammad SAW bersama sahabat setianya Abu Bakar Ash-Shidiq berada di gua Tsur untuk bersembunyi dalam rangka strategi hijrah ke Yatsrib (Madinah).

Kaki-kaki musuh yang lalu lalang tidak menggetarkan Rasulullah dan ketika Abu Bakar begitu mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah SAW, beliau menenangkannya dengan berkata, “Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS 9: 40). Dan ternyata terbukti Allah Taala memberikan pertolongan melalui makhluk-makhluk-Nya yang lain. Burung merpati yang secara kilat membuat sarang, begitu pula laba-laba di mulut gua, membuat musyrikin Quraisy yang mengejar yakin gua itu tak mungkin dilalui oleh manusia.



Realita Dewasa Ini

Dunia dewasa ini dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi saw. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Ya, penyakit wahn-lah yang menyebabkan di antara umat Islam pun banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kufar dan musyrikin.

Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian tentara-tentara pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah.

Sementara kini umat Islam terpenjara oleh dunia, begitu cinta dan tertambat pada kenikmatan dunia sehingga begitu takut akan kematian yang dianggap sebagai pemutus kelezatan dan kenikmatan dunia.

Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Kemudian banyak pula orang yang tidak berani bersikap jujur atau berterus terang terhadap diri sendiri termasuk menyadari kekurangan, kelemahan dan keterbatasan diri. Dan sebaliknya berani mengakui kelebihan, kekuatan dan kemampuan orang lain.

Seorang pengecut biasanya juga tak akan mau mengakui kesalahan. Bersikap keras kepala, mau menang sendiri dan menganggap diri tak pernah berbuat salah sebenarnya justru akan menguatkan kepengecutan seseorang yang berlindung dibalik semua sikap tersebut.

Sikap pengecut lainnya adalah tidak mampu bersikap obyektif terhadap diri sendiri yakni berani menerima kenyataan bahwa ada posisi negatif dan positif dalam dirinya.

Dan akhirnya sifat kepengecutan yang jelas adalah ketidakmampuan menahan nafsunya di saat marah. Salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain (QS. 3:134). Yang disebut orang kuat adalah orang yang mau menahan dan meredam amarahnya serta tetap bisa mengendalikan dirinya di saat marah sekalipun.

Jika seseorang bertindak brutal dan mengeluarkan caci maki serta kata-kata kotor, ia justru masuk kategori orang yang pengecut karena tak mampu mengendalikan diri dan menahan marah.



Macam-macam Syaja’ah

Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, “ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-syaja’ah adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Buka keberanian yang tanpa perhitungan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.

Paling tidak ada beberapa macam bentuk asy-syaja’ah (keberanian), yakni:

1. Memiliki daya tahan besar

Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

2. Berterus terang dalam kebenaran

Qulil haq walau kaana muuran” (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala resiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.

3. Kemampuan menyimpan rahasia

Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam. Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.

4. Mengakui kesalahan

Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”

Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.

5. Bersikap obyektif terhadap diri sendiri

Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.

6. Menahan nafsu di saat marah

Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.



Contoh Figur-figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah

Berani karena benar dan rela mati demi kebenaran. Slogan tersebut pantas dilekatkan pada diri sahabat-sahabat dan sahabiyah-sahabiyah Rasulullah saw. karena keagungan kisah-kisah perjuangan mereka.

Rasulullah Muhammad saw. sendiri menjadi teladan utama saat beliau tak bergeming sedikit pun ketika disuruh menghentikan dakwahnya. Beliau pun berucap dengan kata-katanya yang masyhur, “Walaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan pernah menghentikan dakwahku ini”.

Keberanian dan keteguhan sikap nampak pula pada diri sepupu dan menantu Nabi saw., Ali bin Abu Thalib r.a. Ali mengambil peran yang sangat beresiko, menggantikan Rasulullah di tempat tidur untuk mengelabui musuh-musuh yang mengepung. Dan benar saja ketika tahu mereka dikelabui, mereka pun marah serta memukuli Ali hingga babak belur.

Khalifah kedua yakni Umar bin Khathab juga sangat terkenal dengan ketegasan sikap dan keberaniannya. Ketika mau hijrah berbeda dengan sahabat-sahabat lain yang sembunyi-sembunyi, Umar malah berteriak lantang, “Umar mau hijrah, barang siapa yang ingin anak istrinya menjadi yatim dan janda, hadanglah Umar”.

Keberanian mempertahankan akidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuhsuburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.

Begitu pula Khubaib bin Adiy yang syahid di tiang salib penyiksaan dan Habib bin Zaid yang syahid karena tubuhnya dipotong-potong satu demi satu selagi ia masih hidup. Mereka berani bertaruh nyawa demi mempertahankan akidah dan itu terbukti dengan syahidnya mereka berdua.

Bilal dan Khabab bin Al-Irts, yang mantan budak disiksa dengan ditimpa batu besar (Bilal) dan disetrika punggungnya (Khabab) adalah bukti bahwa keberanian tidak mengenal lapisan dan strata sosial.

Ada pula anak bangsawan seperti Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash yang diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak oleh orangtua mereka karena masuk Islam. Dan akhirnya wanita-wanita perkasa dan pemberani seperti Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw., Nusaibah binti Ka’ab, perisai Rasulullah saw. dan Fatimah, putri Rasulullah saw. yang menjadi bukti wanita tak kalah berani dibandingkan laki-laki dalam mempertahankan kebenaran.



Kiat-kiat Memiliki Sifat Syaja’ah

Dengan segala kesederhanaannya, prajurit muslim Rubyi menemui Panglima besar Persia, Rustum. Pedangnya yang menyembul di pinggangnya menyaruk-nyaruk bentangan karpet mewah Persia yang digelar. Seolah-olah ingin berkata, “Aku tak butuh dan tak silau oleh semua kemewahan ini”.

Rubyi bahkan berorasi dengan lantangnya, “Kami datang untuk membebaskan kalian dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Kami datang untuk membebaskan kalian dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat”.

Keberanian, yang ditunjukkan Rubyi adalah buah dari keimanan dan ketakwaannya. Karena ia meyakini hanya Allahlah Yang Maha Besar dan patut ditakuti, dan manusia sehebat dan sekaya apapun kecil dibandingkan Allah Yang Agung.

Jadi kiat utama untuk memiliki sifat syaja’ah adalah adanya daya dukung ruhiyah berupa keimanan dan ketakwaan yang mantap. Iman dan takwa ini akan membuat seseorang tidak takut pada apapun dan siapa pun selain Allah.

Kemudian bermujahadah melawan segala rasa takut, cemas dan khawatir yang secara manusiawi ada pada setiap manusia.

Berikutnya bisa pula dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Harits yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah... cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu”.

Dan akhirnya kejelasan misi dan visi perjuangan serta senantiasa mengingat-ingat imbalan optimal berupa ampunan dan surga-Nya kiranya akan memperbesar keberanian dan semangat juang, insya Allah.

Wallahu a’lam.

28 March, 2008

Ila Ayyi Syain Nad’un-Naas

Risalah:Ila Ayyi Syain Nad’un-Naas

Abstraksi: Risalah ini ditulis oleh Imam syahid Hasan Al-Bana pada tahun 1936. Berintikan hakikat dakwah Ikhwan, karakter dan tujuan. Sebagaimana risalah ini berisi penjelasan tentang permasalahan umat masa kini dan terapi yang ditawarkan Ikhwan. Di samping terdapat pesan-pesan dakwi dan tarbawi untuk para kader Ikhwan, agar tetap tegar di jalan Dakwah ilallah.
Ila Ayyi Syain Nad’un-Naas (1) Dakwah Ikhwan, Dakwah Islamiyah
Dakwah Ikhwan adalah dakwah Islamiyah murni; Dasar perjuangannya, inti dakwahnya, cara dan sarananya tidak lepas dari norma dan nilai-nilai Islam, karena Ikhwan yakin benar, bahwa Islam adalah agama yang menghantarkan umat manusia kepada kesejahteraan, ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
Islamiyah Dakwah Ikhwah dapat dicermati dari beberapa indikasi sebagai berikut:
Ikhwan menjadikan Alquran sebagai tolak ukur dan sumber kejelasan langkah Dakwah Ikhwan yang meliputi metode dan sarana yang digunakan. Alquran sebagai tolak ukur dan sumber pergerakan, karena Alquran bak “lautan dari mana kita meraup mutiara kecemerlangan dan referensi kepada mana kita menentukan hukum. Alquran adalah kitab sempurna yang padanya Allah memadukan dasar-dasar kepercayaan, kaidah-kaidah perbaikan sosial, prinsip-prinsip umum hukum keduniaan, serta sederet perintah dan larangan”.
Ikhwan yakin seyakin-yakinnya, bahwa Allah adalah tempat bersandar, hanya Allah sebagai pelindung orang-orang beriman, Dia sebagai penolong orang-orang yang berbuat kebaikan, Pembela orang-orang tertindas, yang diperangi di negeri mereka sendiri bahkan diusir dari negeri mereka. Baca dan renungkanlah ayat-ayat berikut:

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang-orang beriman. (QS. Al-Baqarah: 257)

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sesungguhnya Allah niscaya akan menolong orang yang menolong agama-Nya. (QS. Al-Hajj: 40)

قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَقَدْ بَلَغَنِيَ الْكِبَرُ وَامْرَأَتِي عَاقِرٌ قَالَ كَذَلِكَ اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

Allah adalah Pelindung orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. (QS. Ali Imran: 25)

بَلِ اللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ خَيْرُ النَّاصِرِينَ

Tetapi ikutilah Allah pelindungmu, Dialah sebaik-baik Pelindung. (QS. Ali Imran: 150)

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) (QS. Al-Maidah: 54)

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami. Dan hanyalah kepada Allah orang-orang mukmin harus bertawakkal. (QS. At-Taubah: 51)

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Bagi Allahlah al-Izzah (kekuatan yang agung) dan bagi Rasul-Nya serta bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya. (QS. Al-Munafiqun: 8)
Keyakinan tersebut manakala tertancap pada diri setiap kita, niscaya akan mengangkat jiwa kita menuju ketinggian, meniupkan semangat kebangkitan bersama semua orang yang senantiasa berbuat dan berkarya di jalan Allah, untuk menghantarkan kita menjadi Robbani, dimana hubungan kita dengan Allah terus terpaut dan selalu kepada-Nya kita menisbatkan nasab,

وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Akan tetapi dia berkata: Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran: 79)
Keyakinan tersebut juga akan melahirkan sikap optimis, bahwa keberhasilan dari Allah akan datang. Setiap akh beraktivitas tanpa rasa takut kepada siapa pun selain kepada-Nya. “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka takutlah kalian dari mereka. Maka perkataan itu menambah keimanan mereka seraya mereka berkata: Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” Ali Imran: 173.
Ikhwan memandang, bahwa kebangsaan kita adalah nasab universal. Dengan menisbatkan nasab (berafiliasi) kepada Allah, berarti matinya fanatisme kesukuan yang telah banyak mewariskan mala petaka. Dengan akidah seperti ini Ikhwan hidup dan rela mati karenanya. Dan hanya di sana mereka menemukan segala impian jiwa mereka akan kesenangan, kebahagiaan dan kebenaran serta keindahan.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Hadid: 16).

Misi hidup setiap muslim sebagaimana dipersepsikan Ikhwan adalah mengabdikan diri hanya kepada Allah dengan sikap ruku, sujud, melakukan amal kebajikan terhadap sesama, bermujahadah secara ikhlas serta berjihad di jalan Allah swt secara sungguh-sungguh, dengan cara menyebarkan dakwah Islam kepada segenap umat manusia, jika mereka menolak dakwah dan bersikap tiran serta melakukan kezhaliman, maka pedanglah bagi mereka. “Kalau manusia menolak hujjah dan bersikap tiran, perang lebih baik bagi dunia dari kedamaian”; karena Jihad merupakan kekuatan untuk membela kebenaran. “Kekuatan adalah jalan yang paling aman untuk memunculkan kebenarann. Sungguh suatu keindahan yang sempurna bila suatu saat kekuatan bisa berjalan beriringan dengan kebenaran”. Firman Allah:

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. At-Taubah: 41).

Apa di balik perintah Jihad? Allah telah memilih orang-orang mukmin untuk menjadi pemimpin (huwajtabaakum) bagi seluruh umat manusia, sebagai penjaga ajaran-Nya, khalifah di muka bumi dan sebagai pewaris dakwah para Rasul-Nya. Karena itu hendaknya mereka menjadi satu barisan, satu kekuatan dan menjadi pasukan pembebas yang akan menyelamatkan mereka ke jalan yang lurus.

Demikian beberapa indikasi penting yang memberikan makna, bahwa dakwah Ikhwan adalah dakwah Islamiyah, tujuan, langkah-langkah dan cara tidak menyimpang dari ajaran dan nilai-nilai Islam sebagaimana diturunkan Allah swt untuk umat manusia.
Karenanya, setiap kader Ikhwan, hendaknya senantiasa melakukan introspeksi diri agar langkah-langkah kehidupannya dan kerja-kerja dakwah sesuai dengan al-Islam, yang akan membawanya kepada keridhaan Allah swt.

Ila Ayyi Sayin Nad’un-Naas 2 (Tujuan Dakwah Ikhwan)
Tujuan Dakwah Ikhwan terangkum dalam firman Allah swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

Wahai orang-orang beriman ruku’, sujudlah dan sembahlah Rabbmu, lakukan kebaikan (terhadap sesama), agar kamu mendapat keberuntungan . Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) di dalam Alquran ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong (QS. Al-Hajj: 77-78).
Sangat jelas tujuan Dakwah Ikhwan, yaitu membawa umat manusia ke jalan kebenaran, membimbing mereka ke jalan kebaikan, menerangi seluruh penjuru dunia dengan nur al-Islam. Kemuliaan tujuan Dakwah ini akan semakin nampak dengan jelas ketika kita cermati tujuan hidup yang sebenarnya, yakni “Memberikan pengabdian total kepada Penguasa alam semesta yaitu Allah swt, dengan memberikan loyalitas kepada-Nya dan kepada ajaranNya secara konsisten, untuk menggapai Ridho Allah swt yang merupakan puncak kebahagiaan yang hakiki. Ikhwan berperan dan bertugas untuk membantu menghantarkan manusia ke pintu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup tersebut.
Sungguh berat…., berat…, memang berat dan sangat berat

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”
(QS. Al-Muzammil: 5)
Lengah dari tugas mulia ini, manusia akan terjerumus ke arah tujuan-tujuan yang membawa mereka kepada kesengsaraan dalam kehidupan. Di antara mereka yang tujuan hidup hanya mencapai kesenangan duniawi semata, kerjanya hanya makan dan kesenangan lainnya, sebagaimana firman Allah

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

“..dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya hewan-hewan, neraka adalah tempat kembali mereka” (QS. Muhammad: 12).
Ada pula yang tujuan hidupnya menyebarkan fitnah, tuduhan bohong, kejahatan dan membuat kerusakan, meskipun mereka seringkali mengaku sebagai “reformis”.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan jika ia berpaling (darimu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah: 204-205).
Dalam ayat 78 al-Hajj di atas juga dijelaskan, bahwa tugas mengemban dalam mencapai tujuan mulia ini diamanatkan kepada umat Islam yang diberikan predikat “Ummatan Wasathan” dan “Khairu Ummah Ukhrijat Lin-Naas”. Allah menegskan kembali di dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan, Tuhanmu agungkanlah, pakaianmu bersihkanlah…” (QS. Al-Muddatsir: 1-4).
Realitanya, apakah kaum muslimin telah memahami makna tersebut dari Alquran sehingga jiwa dan ruh mereka naik ke langit ketinggian, terbebas dari perbudakan meterialisme, bersih dari syahwat dan ambisi dunia, mengarahkan wajah dengan lurus kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, menegakkan kalimat-Nya dan berjuang di jalan-Nya, menyebarkan agama dan membela syariat-Nya? Ataukah mereka justru telah menjadi tawanan syahwat dan budak keserakahan, di mana mereka hanya memikirkan makanan lezat, kendaraan megah, perhiasan mewah, tidur nyenyak, istri cantik, penampilan parlente dan gelaran-gelaran palsu?

Mereka sudah cukup senang dengan mimpi-mimpi
Dan teruji dengan keberuntungan
Mereka bilang menyelami laut perjuangan
Tapi mereka toh tak teruji

Sungguh benar ketika Rasulullah saw bersabda:

تعس عبد الدينار ، تعس عبد الدرهم ، تعس عبد القطيفة

Celakalah hamba dinar (uang emas), celakalah hamba dirham (uang perak), celakalah hamba selimut (dari sutera).
Sehingga sangat jelas, bahwa tujuan dakwah Ikhwan adalah memimpin dunia dan membimbing manusia kepada ajaran Islam yang syamil, dimana manusia tidak mungkin menemukan kebahagiaan selain dari Islam.
Tujuan ini adalah tujuan yang dijelaskan di dalam Alquran, hadits Nabi saw dan sikap serta perilaku generasi awal Islam, yang telah menghantarkan peradaban Islam ke panggung kejayaan dalam sejarah peradaban dunia.
Untuk tujuan inilah setiap akh bekerja dengan penuh kesungguhan. Betapa tidak…, mereka adalah pemuda Ikhwan, begadang ketika semua orang tertidur lelap, mereka gelisah di saat semua orang lengah. Lihatlah, seorang dari mereka duduk bekerja, berijtihad dan berfikir keras di kantornya sejak sore hingga larut malam. Dalam hari-hari di sepanjang bulan ia terus melakukan itu. Sampai ketika akhir bulan tiba, ia pun mengumpulkan pendapatannya untuk kemudian menginfakkannya bagi Jamaah dan Dakwahnya. Ia menjadikan hartanya sebagai sarana mencapai tujuan suci dakwah ini. Seakan-akan lisannya yang suci hendak berkata kepada kaumnya yang tidak pernah mengetahui betapa besar pengorbanannya, “Tak ada ganjaran yang kuharap dari kalian. Aku hanya mengharap pahala dari Allah”.
Mereka adalah rahib di malam hari dan penunggang kuda di siang hari, dengan kekuatan akidahnya mereka melaksanakan kewajiban individunya sebagaimana mengerjakan kewajiban sosial; sebab mereka yakin benar bahwa kewajiban individu adalah sarana menuju terlaksananya kewajiban sosialnya. Setiap mereka tidak dibenarkan meninggalkan kewajiban-kewajiban individu dengan alasan sibuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sosial, sebagaimana tidak dibenarkan meninggalkan kewajiban sosialnya dengan alasan sibuk dengan kewajiban individunya. Sungguh suatu formula kebijakan yang seimbang dan sempurna.
Beribadah kepada Allah, berjihad menegakkan agama dan meninggikan-Nya adalah misi kaum muslimin dalam kehidupan. Jika mereka melaksanakan dengan baik, niscaya akan memperoleh kemenangan. Tetapi jika mereka hanya melaksanakan sebagiannya atau bahkan melalaikan semuanya, maka cukuplah bagi mereka untuk merenungkan ayat berikut:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenarnya (QS. Al-Mu’minun: 115-116).
Renungkan pula peringatan dari Rasulullah saw dalam haditsnya:
“Kalau manusia mulai kikir dengan dinar dan dirham, melakukan jual beli dengan cara riba, mengikuti ekor sapi (umat lain, Yahudi dan Nasrani) dan meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan memasukkan kehinaan ke dalam diri mereka. Dan tidak akan menghilangkannya kecuali jika mereka kembali kepada agama mereka (HR oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir, al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Abdullah bin Umar).

Ila Ayyi Syain Nad’un-Naas 3 (Bekal Perjuangan Menghadapi Masalah-Masalah Di Jalan Dakwah)

Ada sebagian yang berputus harapan dalam perjuangan Dakwah Islam lantaran fenomena ketidakmampuan umat Islam dalam kekuatan material, seraya mengatakan: Bangsa-bangsa Timur tidak akan mampu bangkit dan berpacu dengan bangsa-bangsa Barat, karena mereka tidak memiliki kekuatan fisik yang memadai untuk perjuangan mereka, seperti dana, sarana tempur, prasarana dakwah dsb. Lain halnya dengan Barat yang memiliki sejumlah kekuatan fisik dengan perkembangan teknologi yang begitu sangat canggih”.
Kita tidak dapat menyalahkan asumsi seperti itu, namun sebenarnya mereka melupakan satu hal yang lebih penting, bahwa ada kekuatan yang terpenting dalam perjuangan Dakwah Islam, yaitu kekuatan spiritual; akhlak luhur, jiwa mulia, kebenaran akidah dan ideologi, pengetahuan tinggi, tekad sekuat baja, semangat pengorbanan, kesatuan fikrah, kesetiaan rasional dan loyalitas yang proporsional, semuanya modal utama dalam perjuangan.
Seyogianya orang-orang Timur menyadari, bahwa sesungguhnya Barat telah merampas haknya dan menghancurkan hidupnya. “Jika mereka menyadari akan haknya tersebut, kemudian berusaha merubah diri sendiri, membangun kekuatan spiritual yang dahsyat dan membina keluhuran budi pekerti, niscaya sarana-sarana kekuatan fisik itu dengan sendirinya akan datang kepada mereka dari berbagai arah. Sungguh terlalu banyak lembaran sejarah yang membuktikan akan hal itu”.
Ikhwan meyakini ini sepenuhnya. Keyakinan itulah yang mendorong mereka untuk terus mensucikan hati, menguatkan jiwa dan meluhurkan budi pekerti. Keyakinan itu pulalah yang mendorong mereka untuk terus berjuang menyebarkan dakwah, memahamkan umat manusia akan hakikat misi dan ideologi yang mereka seru, kemudian menyeru umat untuk turut membersihkan jiwa dan meluruskan kehidupan mereka. Keyakinan ini bukan suatu yang dibuat-buat mereka sendiri, tetapi merupakan taujih Ilahi dalam Alquran:

(Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah keadaan yang ada dalam diri mereka sendiri) QS. Ar-Ra’d: 11 .

Betapa luhur bekal perjuangan di jalan Dakwah ini.
Memang benar, sungguh luhur dan besar bekal dan kekuatan yang harus dimiliki Ikhwan; karena masalah-masalah yang dihadapinya pun demikian membutuhkan kekuatan spiritual –utamanya- dan kekuatan fisik. Taklid buta, kerusakan hukum, penyimpangan kehidupan sosial, sikap-sikap hedonis yang telah akrab dengan masyarakat, merajalelanya isme-isme dan pemikiran destruktif yang begitu kuat mencengkram negeri ini, amburadul pendidikan, hubungan silaturahmi yang kacau; adalah sebagian dari sekian permasalahan yang dihadapi dakwah.
Akankah masalah-masalah kompleks tersebut dapat terselesaikan? Mungkinkah? Jika kita telah meyakini, bahwa masalah tersebut akan terselesaikan dan sangat mungkin, namun bilakah akan selesai?
Ya akhi, jalan ini amatlah panjang….sungguh panjang..
Para pakar ilmu sosial menyatakan, bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini akan menjadi kenyataan esok hari. Siapa yang menyangka sebelumnya kalau para ilmuwan akan sampai pada penemuan penemuan dahsyat seperti yang kita saksikan sekarang. Bahkan para ilmuwan itu sebelum tidak percaya, tetapi ketika hal itu terjadi mereka semakin yakin terhadap pernyataan dalam perspektif filsafat sosial itu.
Dalam perspektif sejarah, kebangunan semua bangsa di dunia selalu bermula dari kelemahan; sesuatu yang sering membuat orang percaya bahwa kemajuan uyang mereka capai kemudian adalah sebentuk kemustahilan. Tapi di balik anggapan kemustahilan itu, sejarah sesungguhnya telah mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran, keteguhan, kearifan dan ketenangan dalam melangkah, telah mengantarkan bangsa-bangsa lemah merangkak dari ketidakberdayaan menuju kejayaan.
Siapa yang bisa percaya sebelumnya, bahwa di tengah gurun pasir Jazirah Arab yang gersang dan kering kerontang itu akan memancar seberkas cahaya kearifan, dimana dengan kekuatan spiritual dan kemampuan berpolitik putra-putranya dapat menguasai semua kekuatan adidaya dunia? Siapakah yang menyangka, sosok seperti Abu Bakar yang lemah lembut itu tiba-tiba saja mengirim pasukan untuk memerangi para pembangkang, pemberontak dan kaum murtad di Yamamah. Siapa yang menyangka sosok-sosok pribadi yang dahulunya mengajar di surau-surau, tiba-tiba suaranya terdengar di seantero nusantara lewat mikrofon gedung DPR-RI.
Ikhwan fillah ……
Walau demikian hebatnya cobaan dan tantangan yang harus dihadapi, walau demikian berat beban perjuangan ini, walau demikian besar biaya persiapan bekal dakwah ini, walaupun demikian panjangnya jalan dakwah ini, namun semuanya tetap harus dijalankan, harus diyakini, bahwa tak ada jalan lain untuk membangun kejayaan umat dengan benar.
Seorang pekerja pertama kali harus bekerja menunaikan kewajibannya, baru kemudian boleh mengharap hasil kerjanya. Jika ia telah bekerja, berarti ia telah menunaikan kewajiban dan pasti kelak akan mendapat balasan dari Allah. Tak ada keraguan dalam hal ini, selagi syarat-syarat terpenuhi. Sedang masalah hasil, itu terserah kepada Allah swt. Boleh jadi peluang kemenangan itu datang tanpa terduga, sehingga ia memperoleh hasil yang sangat memuaskan dan penuh berkah. Sementara bila ia tidak bekerja, ia akan mendapat dosa karena tidak berbuat, ia juga akan kehilangan pahala jihad, dan tentu saja dia sama sekali tidak akan mendapatkan hasil di dunia.
Allah menegaskan hal itu dalam firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika suatu umat di antara mereka berkata: Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab dengan keras? Mereka menjawab: Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa ! Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik” (QS. Al-A’raf: 164-165).

Ikhwan Fillah…
Mari kita dengarkan bersama senandung ayat-ayat Alquran yang menggema pada segenap ufuk, yang memenuhi mayapada dan tujuh susun langit, yang membisikkan dalam diri setiap mukmin makna kebanggaan dan kemuliaan tertinggi..
Sungguh Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman (al-Baqarah: 257).
Benar wahai Ikhwan, benar, itulah panggilan Allah pada kita semua. Maka kita menjawab panggilan-Nya: Ya Allah, segala puji, segala syukur yang tiada terbilang hanya untuk-Mu. Engkau dan hanya Engkaulah Pelindung orang-orang beriman, Penolong orang-orang yang berbuat kebaikan, Pembela orang-orang tertindas, yang diperangi dalam rumah-rumah mereka. Sungguh terhormatlah orang yang bersandar pada-Mu, dan niscaya menanglah orang yang berlindung di bawah perlindungan-Mu.
Karenanya, seyogianya kita tetap optimis dan yakin dengan janji-janji-Nya, serta tegar dan bersabar dalam menapaki langkah-langkah perjuangan sampai ke tujuan. Karena dengan keyakinan dan kesabaran itulah Allah akan menjadikan orang-orang beriman mampu memimpin umat manusia di dunia ini “Dan Kami jadikan dari mereka pemimpin ketika mereka bersabar dan mereka pun yakin dengan ayat-ayat Kami” QS. As-Sajdah.
Kita sandarkan semuanya kepada Allah, kita tapaki langkah-langkah ini dengan al-Islam milik-Nya:
Jangan panggil aku
Kecuali dengan seruan “Hai hamba-Nya”,
Karena itulah semulia-mulia namaku.

Islamlah ayahku,
Aku tak punya ayah selain itu
Biarlah mereka bangga dengan Qais atau Tamim

Selamat bekerja. Allah bersama kita. Wallahu a’lam